Home Ekonomi Soal Gelombang PHK Industri Garmen dan Tekstil, Kadin: Harus Cari Market Lain

Soal Gelombang PHK Industri Garmen dan Tekstil, Kadin: Harus Cari Market Lain

Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Arsjad Rasjid buka suara soal maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan garmen berorientasi ekspor. Menurutnya, gelombang PHK ada kaitannya dengan penurunan permintaan ekspor dari negara-negara yang selama ini jadi pasar utama.

 

Arsyad menyebut Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan terhadap ekspor ke negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan negara di Eropa. Adapun gejolak ekonomi negara-negara maju diketahui telah memicu inflasi yang tinggi. Karena itu, Arsjad mengatakan perluasan negara tujuan pasar ekspor potensial yang baru harus terus digenjot.

 

"Ekspor memang harus kita jaga, kita harus cari market-market lain, kan bisa ke Afrika, Middle East (timur tengah) dan sebagainya," ujar Arsjad saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Jumat (4/11).

 

Di sisi lain, Arsjad mengatakan selain mencari peluang pasar ekspor yang baru, pemerintah dan masyarakat juga perlu membantu menumbuhkan permintaan pasar domestik, khususnya terkait produk tekstil dan garmen yang saat ini tengah terdampak.

 

Bangga Buatan Indonesia (BBI), kata Arsjad harus terus digaungkan untuk menumbuhkan permintaan pasar domestik terhadap produk lokal. Ia menjelaskan, tak hanya industri besar yang tengah mengalami kesulitan, tetapi banyak pabrik garmen dan tekstil skala kecil yang juga perlu diperhatikan.

 

Arsjad mengatakan pihaknya terus berupaya mendorong investasi di sektor industri dalam negeri. Namun, terkait banjirnya produk impor yang menyulitkan daya saing produk industri lokal, menurutnya sudah menjadi tugas pemerintah untuk membatasinya.

 

"Makanya Bangga Buatan Indonesia itu penting, supaya saling membantu. Makanya ada bagiannya, kalau bagian kita mendorong bagaimana investasi dalam negeri menjadi lebih baik, nah impor itu menjadi tantangan , Itu juga bagaimanapun caranya harus gimana, supaya bisa disetop," jelasnya.

 

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa pengusaha tekstil dan garmen saat ini tengah kesulitan lantaran permintaan ekspor tengah menurun, seiring krisis ekonomi global yang melanda banyak negara.

 

Meskipun Indonesia punya banyak perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA) dengan berbagai negara, Redma menyebut hal itu tak bisa banyak membantu.

 

"Meskipun kita punya CEPA, kondisi negara lain juga kan tidak baik secara ekonomi. jadi akan sulit jika mau memaksakan ekspor," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (2/11) lalu.

 

Ia mengakui, alternatif lain yang bisa dilakulan untuk menyelamatkan keberlanjutan industri yakni menjaga pasar domestik. Pemerintah perlu mendukung ketersediaan pasar domestik bagi industri berorientasi ekspor. Hal itu, kata Redma dapat menekan laju PHK massal pekerja di sektor terkait.

 

"Walaupun yang ekspornya sedikit-sedikit ada hambatan tapi kalau pasar dalam negerinya bisa kita kuasai, di saat meminimalisir PHK dan kita bisa tetap bertahan," ucapnya.

 

Redma menyebut, pemerintah harus bersikap lebih protektif. Terutama dalam hal implementasi kebijakan pembatasan impor produk garmen dan tekstil untuk menjaga industri dalam negeri. Ini karena, selama ini Indonesia terlalu terbuka dan mudah dimasuki produk impor entah legal maupun semi ilegal.

 

"Jadi apapun insentifnya, yang utama itu market. Dan untuk market ini pemerintah enggak perlu ngeluarin budget. Asalkan pemerintah mau ngasih kebijakan dan mau melakukan implementasi kebijakan supaya barang-barang impor di pasar ini tidak bisa beredar dengan gampang," tutur Redma.

 

Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB), Yan Mei mengatakan dalam dua minggu terakhir dampak PHK sudah menyebar hingga 14 kabupaten dan kota.

 

Bahkan, kata Yan sudah ada 18 perusahaan yang tutup dan menyebabkan 1.500 karyawan dirumahkan. Menurunnya daya beli dan permintaan ekspor disinyalir telah menurunkan pendapatan perusahaan secara signifikan, sehingga efisiensi tak bisa dihindari.

 

"Jadi total PHK itu ada 64 ribu pekerja dari 124 perusahaan. Angkanya itu pasti akan terus berubah dan mungkin bisa naik," ungkap Yan Mei, Rabu (2/11).

218