Home Ekonomi Depresiasi Rupiah dan ‘Impossible Trinity’

Depresiasi Rupiah dan ‘Impossible Trinity’

Jakarta, Gatra.com - Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, kembali menaikkan suku bunga acuan Federal Fund Rate (FFR) pada 2 November 2022 sebesar 75 basis points (bps) atau 0,75 persen. FFR naik dari 3,0-3,25 persen menjadi 3,75-4,0 persen.

FFR adalah suku bunga pinjaman antar bank AS berjangka pendek (overnight). Kenaikan FFR membuat US treasury yield berjangka waktu 10 tahun naik. Terjadi, capital outflow di Emerging Market Economies (EMEs), termasuk Indonesia dengan keluarnya investor asing dari obligasi domestik jangka waktu 10 tahun.

Tentunya, Capital flight menyebabkan rupiah per dolar AS terdepresiasi 10,07 persen, dari Rp14.279 per dolar AS awal Januari 2022 menjadi Rp15.717 per dolar AS pada 4 November 2022.

Ekonom senior dari Harvard Kennedy School dan aHarvard Kennedy Schoolmantan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Larry Summers ikut mendorong agar Bank Sentral AS, The Fed untuk secara agresif menaikkan FFR dalam rangka menekan laju inflasi. Hal ini dilakukan meskipun pengangguran akan naik menjadi sekitar 4,4 persen dari saat ini 3,5 persen.

Pengetatan kebijakan moneter AS, ditandai kenaikan FFR masih akan terus berlanjut hingga tahun 2023. Kenaikan FFR diperlukan karena tekanan inflasi masih terjadi, yaitu CPI inflation sekitar 8,2 persen secara tahunan pada September 2022. Tujuannya, CPI inflation kembali turun sesuai target The Fed sebesar 2,0 persen dalam tiga tahun ke depan.

 

Dampak Kenaikan FFR

 

Kenaikan FFR adalah berita buruk bagi EMEs, termasuk Indonesia. Kenaikan ini berdampak pada meningkatnya beban utang, terjadinya capital outflow di mana investor mengalihkan investasinya ke aset keuangan dengan return lebih tinggi, depresiasi nilai tukar, dan yang paling parah, terjadinya krisis keuangan EMEs.

Pengalaman tahun 1980-an yang dikenal dengan volker disinflation, FFR naik ke level tertinggi hingga 20 persen menyebabkan krisis keuangan EMEs. Hal yang sama kembali terjadi pada pertengahan tahun 2000-an, kenaikan FFR menyebabkan krisis keuangan EMEs.

Ekonom Federal Reserve Board dan American Enterprise Institute, Hoek, Yoldas, dan Kamin (2021) menyebutkan bahwa efek penularan (spillover effect) dari perubahan kebijakan moneter AS ke EMEs sangat tergantung pada kondisi perekonomian AS yang mendasari kenaikan FFR dan perkembangan indikator ekonomi makro EMEs.

Kenaikan FFR karena trend pertumbuhan ekonomi AS memiliki efek sangat kecil ke pasar keuangan EMEs. Sementara, kenaikan FFR karena inflasi tinggi, berdampak sangat signifikan terhadap pasar keuangan EMEs yang bahkan berpotensi mengarah ke krisis keuangan, dimulai capital outflow, depresiasi nilai tukar dan kenaikan imbal hasil obligasi merefleksikan harga obligasi yang rendah karena lemahnya permintaan.

Pasar keuangan EMEs kategori rentan (vulnerable) sangat sensitif terhadap kenaikan FFR. Kerentanan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kenaikan inflasi, tingginya defisit neraca pembayaran, rendahnya cadangan devisa, utang pemerintah, utang luar negeri, dan pertumbuhan kredit swasta.

 

Impossible Trinity

 

Robert Mundell dan Marcus Flemming pada 1960-an memperkenalkan konsep yang menjadi dasar kebijakan moneter internasional di berbagai negara, yaitu “impossible trinity” atau “trilemma”.

Konsep yang dikenal dengan Mundell-Flemming trilemma menjelaskan hubungan antara tiga variabel, yaitu kestabilan nilai tukar, kebebasan arus modal, dan independensi kebijakan moneter.

Mudell-Flemming trilemma menekankan bahwa pengambil kebijakan tidak mungkin mencapai tiga hal tersebut secara bersamaan. Pengambil kebijakan hanya bisa mencapai dua dari tiga tujuan tersebut dalam satu waktu. Di mana kebebasan aliran modal dan independensi kebijakan moneter dapat dicapai dengan mengorbankan kestabilan nilai tukar.

Berdasarkan kerangka kebijakan Mundell-Flemming Trilemma, kestabilan nilai tukar dapat dicapai, salah satunya melalui pembentukan ASEAN currency union (mata uang tunggal ASEAN), yang dimulai dari ASEAN-5. Tujuannya, untuk menjaga kestabilan nilai tukar (peged exchange rate regim) dengan tetap menjamin kebebasan aliran modal, meskipun mengorbankan indepensi kebijakan moneter.

Saat ini, depresiasi rupiah per dolar AS tidak hanya disebabkan oleh kenaikan FFR, tetapi juga kenaikan Terms of Trade (TOT) AS. Hal ini berkaitan dengan kenaikan harga barang ekspor AS akibat perang Ukraina yang menyebabkan harga gas dan minyak bumi mengalami kenaikan. Perekonomian AS adalah net exporter untuk komoditi, termasuk gas alam.

Trend inflasi AS terus meningkat dan data penyerapan tenaga kerja AS yang menurun namun dianggap masih baik. Keduanya menjadi pendorong kenaikan FFR hingga tahun 2023. Rupiah per dolar AS akan terus mengalami tekanan hingga 2023. Setiap 10 persen apresiasi dolar AS terhadap mata uang EMEs, menyebabkan inflasi EMEs naik satu persen.

Sejalan dengan fakta di atas dan pandangan professor ekonomi dari University of California, Berkeley, Maurice Obstfeld, berdasarkan konsep “impossible trinity”, bagi otoritas moneter dalam rangka mengantisipasi depresiasi nilai tukar rupiah per dolar AS untuk konsisten menjaga independensi kebijakan moneter dengan fokus pada pencapaian inflasi sesuai target dalam rezim devisa bebas dan nilai tukar mengambang bebas.

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/Komisaris Utama PTPN IX

 

908