Home Gaya Hidup Pandemi Membentuk Karakteristik Massa Baru, Penyelenggara Event Harus Waspada

Pandemi Membentuk Karakteristik Massa Baru, Penyelenggara Event Harus Waspada

Jakarta, Gatra.com - Berbagai tragedi dan insiden yang terjadi di sejumlah event, baik di dalam dan luar negeri dalam beberapa waktu terakhir, membuat penyelenggaraan acara yang melibatkan massa menjadi sorotan, termasuk kapabilitas dan kesiapan even organizer. Teranyar pada 4 November 2022, penyelenggaraan konser NCT 127 di ICE BSD terpaksa dibubarkan akibat 30 penonton pingsan setelah para penonton saling dorong hingga merobohkan pagar pembatas.

Sepekan sebelumnya, festival musik “Berdendang Bergoyang” yang digelar di Istora Senayan, Jakarta pada akhir Oktober juga kisruh karena kepadatan jumlah penonton yang melebihi kapasitas lokasi acara. Dalam acara yang akhirnya dihentikan di tengah jalan itu, sejumlah penonton juga dikabarkan pingsan akibat berdesakan.

Tragedi yang lebih memilukan terjadi di perayaan malam Halloween di distrik Itaewon, Korea Selatan, di mana 156 orang meninggal dunia karena terimpit dan terinjak-injak massa. Sebulan sebelumnya, di Stadion Kanjuruhan, Malang, 133 orang meninggal dunia karena kehabisan napas dan terimpit massa yang panik akibat tembakan gas air mata.

Terlepas dari berbagai faktor penyebab aneka insiden dan tragedi itu, industri penyelenggaraan event kini menghadapi tantangan berat. Manager Program S1 Event, Universitas Prasetiya Mulya, Hanesman Alkhair mengatakan, saat ini para pelaku industri event organizer ditantang terus berkreasi menjawab keinginan market yang mulai bangkit pasca-pandemi Covid-19.

“Di sisi lain, mereka juga harus lebih bersikap hati-hati dan teliti dalam menerapkan manajemen massa, terutama untuk penyelenggaraan acara yang melibatkan khalayak dalam jumlah besar,” ujar Hanesman di Jakarta.

Hanes menilai salah satu faktor munculnya berbagai kejadian di luar dugaan pada sejumlah perhelatan akhir-akhir ini akibat tingginya antusiasme masyarakat untuk mendatangi acara keramaian setelah hampir dua tahun lebih terkungkung pandemi. “Situasi pandemi telah membentuk kebiasaan manusia baru, yang kemudian membentuk karakteristik massa yang baru pula,” kata Hanes.

Hal lain yang tak kalah penting dipahami pelaku industri event adalah pola konsumsi media sosial dan gadget pada masyarakat. Dari berbagai penelitian yang dilakukan para crowd scientist internasional terlihat bahwa pola penggunaan gadget ini telah membentuk massa yang cenderung tidak awas terhadap situasi. “Semua orang memakai ponsel pintar, tak terkecuali saat mereka mendatangi suatu acara keramaian. Perilaku orang-orang yang terlalu fokus dengan gadget, membuat mereka bisa kurang waspada terhadap situasi sekitar,” ujar Hanes.

Tingginya animo masyarakat mendatangi event, ditambah dengan perubahan perilaku masyarakat saat ada di lokasi acara, membuat penyelenggara event harus melakukan berbagai penyesuaian. “Event organizer harus bisa mengantisipasi hal ini dengan membuat skenario pengaturan massa yang sesuai standar dan detil,” ia menambahkan.

Dalam skenario itu, manajemen risiko dalam acara termasuk yang harus dipersiapkan dengan matang. Dua hal penting dalam manajemen risiko penyelenggaraan acara yang harus jadi prioritas adalah antisipasi atas munculnya density alias kepadatan massa, serta sudden movement atau pergerakan tiba-tiba dalam kelompok massa.

“Dua hal ini merupakan titik kritis yang bisa membuat sebuah acara menjadi tidak kondusif, sehingga perlu diantisipasi oleh seluruh stakeholders acara seperti event organizer, aparat keamanan, dan sebagainya,” kata Hanes.

Untuk mencegah timbulnya density, Hanes menjelaskan para stakeholders sebuah event perlu membuat alur pergerakan pengunjung dengan sedemikian rupa. Misalnya, pemisahan antrean, penyekatan area penonton di sebuah acara festival atau konser musik, dan menempatkan lebih banyak petugas keamanan di titik-titik yang rawan terjadi kepadatan. “Perlu ada pengaturan khusus agar tidak terjadi desak-desakan pada pengunjung,” ucapnya.

Sedangkan, risiko sudden movement dalam sebuah acara biasanya terjadi ketika ada suatu kejadian yang menarik perhatian khalayak. Misalnya, turunnya hujan, kericuhan di satu titik, atau bahkan adanya informasi yang menarik perhatian massa dalam jumlah banyak –seperti pada kejadian di Itaewon, di mana sekelompok massa tiba-tiba bergerak setelah mendapatkan informasi adanya seorang pesohor di salah satu kafe di Itaewon.

“Pergerakan tiba-tiba itu bisa menimbulkan kepadatan. Dikaitkan dengan karakteristik masyarakat yang perhatiannya cenderung tersedot pada gadget, situasi ini bisa menimbulkan risiko kepanikan ketika terjadi desak-desakan dan dorong-dorongan,” ujar Hanes. Kondisi ini menjadi berbahaya karena massa yang tidak siap akan terimpit dan kesulitan untuk keluar dari situasi itu.

103