Home Nasional Pengamat: Serangan Digital ke Kelompok Rentan Tinggi di Momen Tertentu

Pengamat: Serangan Digital ke Kelompok Rentan Tinggi di Momen Tertentu

Jakarta, Gatra.com - Peneliti SAFEnet, Anton Muhajir memaparkan hasil laporan SAFEnet terkait dengan adanya serangan digital pada momentum tertentu. Menurutnya, serangan ke kelompok rentan lebih banyak terjadi ketika ada peristiwa yang melatarbelakanginya.

"Saat revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) itu diikuti dengan serangan digital. Saat pengesahan UU Omnibus Law juga," jelasnya dalam pembacaan hasil riset SAFEnet yang digelar secara daring, Jumat (11/11).

Selain itu, Anton turut menyatakan bahwa momen saat tes wacana kebangsaan pada 2021 lalu meningkatkan adanya serangan digital kepada pihak yang memprotesnya.

Pada April 2022 lalu, ia juga menerangkan ketika wacana perpanjangan periode jabatan presiden digaungkan, serangan digital meningkat tajam.

Sementara, serangan yang tinggi terhadap kelompok LGBTQ terjadi di masa Pride Month, serta saat isu kontroversial dinaikkan. Hal ini disepakati Aktivis LGBTQ, Letza Wijaya yang menyebut bahwa bentuk perundungan trolling dilakukan.

"Trolling sering terjadi jika isu LGBTQ sedang memanas, apalagi saat pride month atau bulan pemilihan kepala daerah. Serangan intimidasi daring naik," ucapnya.

Selain itu, serangan pada kelompok Papua turut meningkat pada situasi tertentu. Aktivis Papua, Yuliana Langowuyo bahkan menyebut bahwa masyarakat kerap berkelakar ketika sinyal hilang, maka yang salah adalah hiu di laut yang memakan kabel jaringan.

"Di Papua saat OPM pada 1 Desember, pasti jaringan dari 4G jadi E. Kalau jaringan hilang, sudah biasa, sudah tahu situasi," ucapnya.

Terbaru, kasus serangan digital terhadap jurnalis Narasi pada Oktober 2022 lalu merupakan serangan paling masif dan terstruktur terhadap jurnalis. Hal ini dipaparkan oleh Head of Newsroom Narasi, Laban Laisila yang mengatakan bahwa peretasan ini menunjukkan pola bahwa dilakukan pihak yang sama.

"Kami meyakini ini dilakukan secara sistematis. Alasan pertama adalah yang diserang 37 orang, jurnalis Narasi semua. Kedua, mereka menggunakan alat yang hampir serupa, jadi catatan kami service apa yang digunakan pelaku ternyata alatnya serupa," paparnya.

Ia juga menyebut bahwa penyerangan dilakukan pada waktu yang berdekatan. Dalam sepekan, serangan terus menimpa di waktu yang berdekatan.

Menurutnya, proses serangan digital ini dilakukan oleh pemilik otoritas. Kejahatan ini dianggapnya merupakan abuse of power bagi orang-orang berkuasa.

Laban menilai bahwa hal ini sengaja dilakukan agar pelacakan terhadap pelaku sulit dilakukan.

"Mereka meretas aktivis, jurnalis, kelompok rentan, tapi tidak punya kaitan langsung. Pola ini bukan saja terjadi di Indonesia saat penguasa menggunakan tangan kedua atau tangan ketiga supaya terputus," ujarnya.

Menurutnya, pelaku tidak hanya merujuk pada instansi tertentu melainkan pihak berkepentingan yang memiliki kuasa. Hasil penelitian turut menunjukkan bahwa selama ini, pencarian pelaku tidak pernah berhasil menemukan siapa sosok yang sebenarnya.

55