Home Nasional SAFEnet: Peningkatan Kapasitas Individu Perlu Dilakukan Hadapi Serangan Digital

SAFEnet: Peningkatan Kapasitas Individu Perlu Dilakukan Hadapi Serangan Digital

Jakarta, Gatra.com - Peneliti SAFEnet, Anton Muhajir mengatakan bahwa hasil laporan terkait kapasitas keamanan kelompok rentan akan ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan kapasitas keamanan terhadap serangan digital. Menurutnya, kesadaran menjadi langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya ini.

"Kesadaran sudah muncul di kelompok rentan, tapi kesadaran belum diikuti dengan keterampilan. Beberapa lembaga punya satu atau dua orang yang mampu melakukan teknis terkait kemanan digital, tapi terbatas," jelasnya dalam diskusi secara daring yang digelar SAFEnet, Jumat (11/11).

Menurutnya, keterampilan yang terbatas dialami oleh masing-masing orang di level personal. Keterampilan teknis keamanan digital diperlukan, seperti pencadangan data (back up), komunikasi aman, pengamanan dua langkah, hingga penggunaan jaringan virtual personal.

Anton menyebutkan bahwa pengarusutamaan isu keamanan digital akan dilakukan sebagai tindaklanjut dari hasil laporan. Selain itu, pihaknya akan terus mendorong dilakukannya pelatihan terhadap organisasi masyarakat sipil terkait keamanan digital.

Sejauh ini, Anton menyebut bahwa belum ada kerja sama secara khusus yang dilakukan dengan pihak kepolisian dalam mengungkap pelaku. Namun, ia terus berjejaring dengan kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang kemanan digital agar bisa bahu-membahu dalam menangani permasalahan yang ada.

"Penting membentuk aliansi stratgeis terkait isu keamanan digital, penting untuk mengumpulkan puzzle ini sebagai kekuatan bersama," katanya.

Anton menilai bahwa peningkatkan kapasitas bisa dilakukan dengan audit, diskusi, atau pelatihan. Ini bukan hanya menyasar organisasi melainkan masing-masing individu untuk menumbuhkan kesadaran.

Selain itu, ketiadaan kebijakan dan perilaku organisasi masyarakat sipil dalam menghadapi serangan digital membuat kelompok ini rentan dan berisiko. Tidak adanya kebijakan keamanan digital itu membuat semua organisasi belum mengalokasikan sumber daya manusia dan keuangan untuk menangani insiden serangan digital. Ketika ada insiden keamanan digital, mereka baru meminta bantuan pada jaringan.

Kemudahan mengakses bantuan dari pihak lain ini bergantung pada jaringan organisasi. Kelompok rentan dan berisiko tinggi di Papua relatif lebih beruntung karena banyak jaringan, tetapi kelompok LGBTQ dan perempuan kurang terhubung dengan jaringan pegiat keamanan digital. Anton menilai bahwa rendahnya budaya keamanan digital ini menjadi tantangan bagi kelompok rentan, seiring dengan perkembangan teknologi dalam keamanan digital.

"Kebijakan di organisasi masyrakat sipil di Indonesia belum ada, sangat terbatas. Ini jadi PR kita," ucapnya.

43