Home Ekonomi Tantangan G20: Inflasi dan Suku Bunga Tinggi

Tantangan G20: Inflasi dan Suku Bunga Tinggi

Jakarta, Gatra.com - Perekonomian global masih diliputi ketidakpastian. Hal ini dapat diamati pada dua indikator, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Keduanya bergerak ke arah yang lebih baik tetapi masih tetap mengkhawatirkan. Potensi terjadinya resesi global masih besar.

Pertumbuham ekonomi Amerika Serikat (AS) kuartal ketiga 2022 positif 2,6 persen adalah good news bagi perekonomian global. Lantaran ekonomi AS pada kuartal kedua 2022 terkontraksi 0,6 persen.

Zona Euro mengalami pelambatan pertumbuhan dari 0,80 persen kuartal kedua menjadi 0,20 persen kuartal ketiga 2022. Perekonomian Cina mengalami rebound dari minus 2,7 persen secara kuartalan pada kuartal kedua menjadi 3,9 persen kuartal ketiga 2022.

Publikasi Bureau of Economic Analysis (BEA), inflasi negara utama dunia juga masih tinggi. Inflasi AS hanya menurun dari 8,3 persen kuartal kedua menjadi 8,2 persen kuartal ketiga 2022. Sebaliknya, inflasi Cina mengalami kenaikan dari 2,5 persen kuartal kedua menjadi 2,8 persen kuartal ketiga 2022.

Inflasi tertinggi dialami oleh zona Euro dengan trend meningkat. Inflasi zona Euro pada kuartal kedua sebesar 9,9 persen meningkat menjadi 10,7 persen kuartal ketiga 2022. Trend inflasi zona Euro diperkirakan akan meningkat hingga kuartal pertama tahun 2023.

 

Inflasi dan Suku Bunga Tinggi

 

Perekonomian global mengalami pandemic recession pada Februari hingga April 2020, resesi karena pandemik tercepat dalam sejarah sejak tahun 1970-an. Resesi, menurut National Bureau of Economic Researh (NBER), didefenisikan sebagai penurunan aktifitas ekonomi tertentu yang menjalar ke seluruh aktifitas ekonomi dan berakhir dalam beberapa bulan.

Namun, pada 2021 dan 2022, perekonomian global kembali menghadapi masalah inflasi tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah kebijakan stimulus fiskal dan moneter untuk menggerakkan ekonomi pada periode Covid-19. Kebijakan stimulus fiskal dan moneter ekstra longgar dilakukan serempak di semua negara.

Trend inflasi tinggi memicu perdebatan dua kubu ekonom. Kelompok ekonom yang dimotori oleh Jerome Powell dan Jenet Yellen menganggap bahwa trend inflasi tinggi bersifat transitory (transitory inflation). Inflasi tinggi karena tekanan permintaan tidak bersifat sesaat. Dikenal dengan kelompok transitory.

Kelompok ekonom kedua, Larry Summers dan Oliver Blanchard, menganggap bahwa inflasi bersifat persisten. Inflasi tidak hanya disebabkan oleh stimulus fiskal dan moneter pada sisi permintaan. Inflasi tinggi juga karena gangguan sisi penawaran. Trend inflasi tinggi yang berlangsung lama hingga saat ini menunjukkan bahwa kelompok persisten lebih akurat.

Gangguan sisi penawaran yang menyebabkan persistensi inflasi berkaitan dengan terhambatnya rantai pasok akibat Covid-19 (lock down di Cina), tekanan pasar tenaga kerja, dan perang Ukraina yang membuat harga komoditas pangan serta energi mengalami peningkatan signifikan di semua negara.

Gangguan sisi permintaan berkaitan dengan pergeseran konsumsi masyarakat pada saat Covid-19 dari jasa ke barang. Hal ini menambah tekanan di pasar barang. Diperberat oleh stimulus fiskal dan moneter ekstra longgar serta dilakukan serempak di semua negara. Akibatnya, permintaan sangat tinggi tidak diimbangi sisi penawaran,

Persistensi inflasi AS membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali ke keseimbangan awal, sekitar dua persen sesuai target The Fed. Hal ini memberikan signal bahwa suku bunga acuan The Fed akan terus mengalami peningkatan. Terbaru The Fed menaikkan suku bunga 75 basis point atau 0,75 persen.

Inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga menjadi tantangan bagi negara G20. Jika negara-negara G20, secara agresif melakukan pengetatan moneter dan fiskal sekaligus, maka akan berpotensi membawa perekonomian global lebih cepat ke periode resesi. Resesi bisa sangat dalam karena tekanan pada sisi penawaran disertai oleh permintaan.

Akhirnya, Indonesia sebagai ketua G20 tahun 2022 diharapkan dapat mensinkronisasi kebijakan sisi permintaan dan penawaran diantara anggota G20. Kebijakannya mampu menahan trend kenaikan inflasi dengan instrumen suku bunga acuan (policy rate) yang tidak terlampau agresif dan membebani pemerintah serta pelaku usaha Eemerging Market Economies (EMEs).

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/Komisaris Utama PTPN IX

 

287