Home Apa Siapa Akses untuk Disabilitas, Tak Pernah Surut Diperjuangkan Anggi

Akses untuk Disabilitas, Tak Pernah Surut Diperjuangkan Anggi

Yogyakarta, Gatra.com – Di Pemilu 2019, publik Daerah Istimewa Yogyakarta dikejutkan dengan kemunculan perempuan penyandang disabilitas Anggiasari Puji Aryatie (42) yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI.

Setelah gagal meraih kursi, Anggi terus berjuang di luar politik demi terkoneksinya akses para disabilitas sebagai dasar warga negara.

Menggunakan kendaraan politik Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dalam perhitungan akhir Anggi yang menduduki nomor urut enam mendulang enam ribuan suara.

Meski gagal, pergulatan di dunia politik ini memberi banyak pengalaman dan pelajaran penting baginya.

“Setelah pemilu lalu, saya harus mencari kerja. Tidak bisa lagi berkutat di LSM, karena dinilai tidak bisa netral lagi. Ada ketakutan, kerja-kerja dalam pemberdayaan rekan-rekan disabilitas membawa unsur politik,” kata Anggi yang diwawancarai Gatra.com Kamis (17/11) malam.

Terhubung via telepon, Anggi mengaku sejak 2020 lalu dirinya memutuskan bermukim di Bali dan bekerja sebagai salah satu tenaga ahli Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat.

Sebagai salah satu tenaga ahli, Anggi diberi kesempatan untuk terus mengadvokasi penyandang disabilitas se-Nusantara dan menjaring aspirasi suara perempuan yang selama ini terpinggirkan.

Pengalaman berkecimpung di yayasan serta LSM yang fokus pada penanggulangan serta pengelolaan risiko kebencanaan maupun penganggaran yang inklusif menjadikan Anggi memahami bahwa banyak pemerintah daerah yang belum sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

“Berbicara tentang akses pada hak dasar warga, di Jawa sudah banyak kemajuan pemerintah daerah memperhatikan dan memenuhi hak dasar rekan-rekan disabilitas. Namun di luar jawa, tantangan bagi penyandang disabilitas sangat berat,” jelas Anggi.

Baginya, di banyak pelosok di pulau-pulau besar di luar Jawa, koneksi dengan akses jalan, pendidikan, kesehatan, air bersih, maupun akomodasi lainnya sangat tidak setara. Kebanyakan disabilitas di luar Jawa memilih bermukim di lokasi yang sulit dijangkau.

Lulusan S1 jurusan Bahasa Perancis UGM dan Bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) LIA ini mengibaratkan Indonesia dengan lingkungan geografisnya menghadirkan tantangan yang berat bagi penyandang disabilitas.

Dengan terkoneksinya penyandang disabilitas pada akses dasar kehidupan, Anggi melihat peningkatan kapabilitas akan semakin cepat terwujud. Tak hanya itu, keterlibatan penyandang disabilitas dalam pembuatan dan pengawasan anggaran di daerah juga harus terus didorong. 

“Ini penting. Pemerintah daerah memiliki pemahaman yang sama terkait definisi disabilitas yang diterangkan di UU Nomor 8 Tahun 2016. Semua peraturan daerah yang dibuat mereka harus harmoni dan tidak mengacu pada terminologi lama yang memandang disabilitas adalah penyandang cacat,” ungkapnya.

Kerja mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan koneksi penyandang disabilitas terhadap akses dasar menurutnya tidak akan pernah berhenti. Pasalnya, dengan masa jabatan yang terbatas, kemungkinan adanya pergantian kebijakan yang berpihak pada disabilitas besar berubah.

“Isu disabilitas itu adalah isu yang terus berkembang. Jujur, dengan keadaan sekarang dengan risiko kebencanaan yang kita miliki, angka penyandang disabilitas itu tidak akan pernah turun. Saya yakin tidak pernah turun,” tegasnya.

Selain disebabkan oleh bencana alam yang menjadi kerawanan utama di negeri ini, penambahan warga disabilitas juga disebabkan oleh faktor kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, atau sakit.

Meski jumlah penyandang disabilitas tidak akan pernah turun, Anggi memastikan angka risiko kerentanan bagi penyandang disabilitas bisa diturunkan melalui satu-satunya cara yaitu menyediakan dan mengkoneksikan mereka dengan akses informasi, pendidikan, dan kesehatan.

“Meskipun sekarang teknologi sudah maju, tanpa ada kapasitas yang baik untuk mengelolanya akan menjadi senjata makan tuan. Pasalnya teman disabilitas baru-baru saja menikmati atau baru saja menikmati dengan upaya ekstra,” jelasnya.

Dalam perjuangan dalam kesetaraan akses dasar, Anggi mengatakan dirinya ingin menularkan semangat dan kekuatan almarhum ibunya yang terus mendorongnya melawan perbedaan serta meraih pendidikan yang tinggi.

Di pandangan hidupnya, pendidikan adalah fondasi nomor satu dalam upaya peningkatan kapasitas serta kapabilitas rekan-rekan penyandang disabilitas. Tanpa adanya pendidikan yang baik, masyarakat akan selalu melihat perbedaan yang disandang penyandang disabilitas.

“Ibu saya dulu bersikukuh tidak mau menyembunyikan keberadaan saya. Beliau mengajak saya ke berbagai pertemuan maupun pasar dan menghardik mereka yang menatap saya berbeda,” kata Anggi yang menyandang disabilitas dwarfisme atau little people.

Keberanian ibunya inilah yang menjadikan dia kuat dan tidak takut lagi pada perbedaannya. Ia menginginkan kepada semua orang yang memiliki anggota keluarga yang menyandang disabilitas untuk tidak menyembunyikan lagi dan mendorongnya untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya.

156