Home Hukum Pakar: Cegah Cawe-Cawe, Rekrutmen Calon Hakim Agung Jangan Libatkan DPR

Pakar: Cegah Cawe-Cawe, Rekrutmen Calon Hakim Agung Jangan Libatkan DPR

Jakarta, Gatra.com – Pakar hukum tata negara dari Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta, Muchtar Herman Putra, mengusulkan agar proses seleksi calon hakim agung tidak lagi melibatkan lembaga politik DPR.

“Sistem rekrutmen itu tidak boleh oleh DPR,” kata Muchtar dalam webinar bertajuk “Mendesak Reformasi Hukum Total” di Jakarta akhir pekan ini.

Ia berpandangan, yang melakukan seleksi calon hakim agung hanya dua, yakni Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) selaku pengguna atau pemakai dari hakim agung. “Jangan keluar dari situ,” katanya.

Ia tidak sependapat kalau DPR atau legislatif selaku lembaga politik turut cawe-cawe dalam proses pemilihan calon hakim agung. Saat ini, Komisi III DPR yang bertugas melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon hakim agung.

“Bisa saja di KY-nya benar, tapi yang menentukan terakhir fit and proper test itu adalah di Senayan,” katanya.

Muchtar menilai, penetapan tersangka Sudrajad Dimyati oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi terkait jual beli perkara seolah ada relevansinya dengan insiden toilet DPR beberapa tahun silam. “Jadi [seolah] kebetulan,” katanya.

Adapun insiden toilet DPR tersebut terjadi saat Sudrajad Dimyati tengah mengikuti fit and proper test. Usai uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Sudrajad kemudian ke toilet. Di sana, dia disebut-sebut menyerahkan amplop kepada anggota Komisi III DPR inisial BN. Sudrajat sempat membantah telah memberikan amplop kepada anggota dewan.

Menurut Muchtar, untuk mencegah potensi itu, Montesquieu dalam konsep Trias Politica-nya memisahkan eksekutif dan yudikatif karena legislatif dan eksekutif merupakan lembaga politik.

“Kenapa [eksekutif dan legislatif] lembaga politik? Karena eksekutif dan legislatif dihasilkan oleh sebuah pemilu. Sesuai dengan UU bahwa peserta pemilu adalah partai politik,” katanya. 

Ia lebih lanjut menjelaskan, eksekutif atau calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik kemudian dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum (Pemilu).

“Rakyatnya yang memilih bukan lagi pada kredibilitas, tapi wani piro. Pendidikan politik sudah tidak ada di negara ini untuk rakyat,” katanya.

Menurutnya, yang ada adalah pendidikan money politics yang melahirkan para koruptor. Pasalnya, yang terpilih itu harus mengembalikan modal yang sempat dikeluarkan.

“Makanya, kalau mau [reformasi] total, lembaganya, sistemnya, undang-undangnya, dan personelnya [harus direformasi],” katanya. Atas dasar itu, sistem rekrutmen calon hakim tidak boleh lagi melibatkan DPR.

Lebih lanjut dia menyoal mengenai komposisi hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni tiga perwakilan dari pemerintah, tiga dari DPR, dan tiga orang dari MA. Komposisi tersebut membuat DPR bisa menghentikan hakim MK walaupun hakim tersebut belum masuk masa pensiun karena berasal dari utusan partai politik.

“Utusan DPR, sehingga DPR merasa ini harus di-PAW [pergantian antarwaktu]. Mana ada hakim MK di-PAW. Hakim MK itu SK [surat keputusan]-nya dari presiden,” katanya.

328