Home Lingkungan Pemanfaatan Limbah Mangrove Sebagai Pewarna Alami Batik

Pemanfaatan Limbah Mangrove Sebagai Pewarna Alami Batik

Semarang, Gatra.com - Desa Mangkang di Semarang menjadi salah satu desa percontohan penanaman mangrove yang dibina oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) sejak 2008. Selain fokus pada pembibitan mangrove, pemanfaatan limbah mangrove turut dilakukan oleh warga sekitar.

Pengrajin batik dari Kelompok Batik Wijayakusuma, Nur Hayati, mengatakan bahwa limbah mangrove digunakan sebagai pewarna dalam pembuatan batik. "Kita ambil akar, kulit, pentol buahnya yang tidak dipakai, yang tidak bisa ditanam. Itu dimanfaatkan untuk pewarnaan batik," katanya saat dikunjungi di lokasi pembuatan batik, Kamis (24/11).

Proses pewarnaan dilakukan dengan limbah yang kulitnya diambil, kemudian dijemur dan direbus. Hasilnya, setelah 2-3 jam direbus dan mendingin, maka bisa digunakan sebagai pewarna alami.

Nur menjelaskan bahwa warna alami dari limbah mangrove adalah variasi warna coklat seperti coklat tua, coklat muda, dan coklat kemerahan (bata). Untuk warna lainnya, ia menggunakan jenis tanaman lain seperti indigo dan tanaman jolawe sebagai perwarna alami. Ia menyatakan tidak menggunakan bahan sintesis sebab pengolahan limbahnya akan lebih sulit.

Dalam proses pembuatan batik, ia mengaku bahwa bidang desain batik masih menjadi kekurangan dalam karya yang diproduksi. Selama ini, motif batik yang dihasilkan berupa bentuk dan bagian dari pohon mangrove, ikan, serta gelombang air yang mewakili identitas kelompoknya sebagai pembatik di wilayah pesisir.

Selama ini, ia mengatakan bahwa proses produksi satu orang bisa menghasilkan 2-3 kain batik dalam satu bulan. Proses pembuatan satu kain sendiri bisa memakan waktu hingga dua minggu. "Sebulan bisa jadi 2-3 kain produksi per orang. Kan, nggak tiap hari bikin kainnya," katanya.

Hasil kain batik kemudian disertakan dalam berbagai pameran. Nur menyatakan bahwa biasanya proses jual beli terjadi saat pameran.

"Pameran pernah di daerah Jakarta, Pemalang, Rembang. Kita juga pernah mengajari ibu-ibu di Riau, di sana banyak mangrove," ucapnya.

Selain itu, Nur menerangkan bahwa saat ini, jumlah pembatik terus berkurang. Kelompoknya yang tadinya terdiri dari sekitar 15 orang, saat ini hanya menyisakan lima orang. ia menyebut kurangnya minat di masyarakat sendiri menjadi suatu kendala. Apalagi, minat anak muda dalam membatik juga sangat rendah sehingga sulit untuk nanti mewariskannya.

Ia berharap Karang Taruna bisa dilibatkan dalam membatik. Nur menceritakan bahwa sebelumnya program seperti ini pernah dilakukan oleh kelurahan, namun kurangnya pendampingan membuat program tidak berjalan optimal. Ia berharap fasilitas dan pendampingan yang tepat bisa dilakukan oleh pihak terkait agar proses membatik bisa terus diwariskan.

536