Home Nasional Komisioner Komnas Perempuan: Beberapa Poin RKUHP Perlu Diperbaiki

Komisioner Komnas Perempuan: Beberapa Poin RKUHP Perlu Diperbaiki

Jakarta, Gatra.com – Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, ada sejumlah poin Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang harus di perbaiki. RKUHP akan disahkan pada hari ini.

Siti di Jakarta, Selasa (6/12), mengatakan, Komnas Perempuan melihat bahwa memang ada beberapa kemajuan dalam RKUHP, misalnya ada sinkronisasi dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Hasil sinkronisasi RKUHP dan UU TPKS tersebut menyatakan bahwa pencabulan dan tindak pidana perkosaan adalah tindak pidana kekerasan seksual sehingga hak-hak korban dan hukum acaranya tunduk pada UU TPKS.

Baca Juga: Komnas HAM Mendesak Tindak Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genosida dalam RKUHP Dihapuskan

“Tapi itu tidak cukup, masih ada yang terkait UU TPKS yang belum dimuat di RKUHP, seperti pemaksaan pelacuran belum ada unsur-unsurnya di RKUHP. Itu yang pertama,” ujarnya.

Selanjutnya atau kedua, soal tindak pidana pencabulan masih menjadi bagian dalam tindak pidana kesusilaan, harusnya berada di bab tindak pidana terhadap tubuh, sama halnya dengan tindak pidana perkosaan yang berada di bab tersebut.

“Pencabulan dengan berbagai bentuknya itu bukan konteks kesusilaan saja, tetapi itu sudah serangan terhadap tubuh dan martabat manusia, sehingga dia harus ditempatkan di bab kejahatan terhadap tubuh,” katanya.

Catatan ketiga yang harus diperbaiki adalah soal perlindungan terhadap petugas atau relawan yang memberikan pendidikan terkait hak reproduksi yang di antaranya menyangkut alat kontrasepsi.

“Bagaimanapun ke depan itu sangat dibuthkan orang-orang yang memberikan pendidikan terkait kesehatan reproduksi, keluarga berencana, dan seterusnya,” kata dia.

Menurutnya, kalau RKUHP kemudian disahkan dan tetap berpatokan yang boleh memberikan penyuluhan atau pendidikan soal itu adalah hanya orang yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang akan menjadi over kriminalisasi.

“Itu jadi over kriminalisasi sebagaimana dengan program-program pencegahan kehamilan atau lainnya,” ujarnya.

Siti juga menyampaikan, selain yang telah disampaikan di atas, beberapa hal juga masih harus mendapat masukan dari publik, khususnya kelompok-kelompok rentan agar mereka mengetahui apakah berdampak atau membahayakan mereka atau tidak.

“Poin-poinnya, termasuk pidana mati, kohabitasi itu juga harus dilihat kembali dengan cara lebih banyak mendengarkan para pihak,” katanya.

Sedangkan soal keluhan sulitnya masyarakat untuk mendapatkan draft terakhir RKUHP, Siti menyampaikan, draft tanggal 9 November 2022 telah dibagikan. Hanya saja sosialiasinya tidak seperti draft RKUHP sebelumnya.

Baca Juga: YLBHI: RKUHP Bertentangan dengan Konstitusi Mengganggu Kebebasan Berekspresi

“Menurutku, yang berbeda adalah kampanyenya dari poin-poin yang ada di 9 November ini, apa saja yang akan mengancam kebebasan masyarakat,” katanya.

Untuk draft sebelumnya, lanjut Siti, banyak dikampanyekan atau disosialiasikan melalui media, termasuk media sosial menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami atau dimengerti masyarakat sehingga mereka dapat memberikan masukan.

“Kemudian masyarakat memberikan masukan agar ini ditunda. Jadi bahwa mungkin harus dilihat kenapa di 2019 itu apa kampanyenya bisa cukup diterima publik yang sekarang, mungkin belum,” katanya.

84