Home Sumbagsel Menatap Ancaman dari Puncak Bukit Besak

Menatap Ancaman dari Puncak Bukit Besak

Lahat, Gatra.com - Berdiri kokoh setinggi 640 meter di atas permukaan laut (MDPL), Bukit Besak (besar) di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Dempo Selatan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan (Sumsel), menyimpan keindahan alam yang tak ingin dilewatkan bagi para pendaki.

Cuaca cerah dengan sinar matahari siang yang menyengat di langit Pasemah Selasa (29/11), seketika tertutup awan pekat yang menandakan segera memuntahkan air (turun hujan) karena tidak tertampung lagi. Kilat serta gemuruh petir saling bersahutan dan sesekali mengejutkan para pendaki yang tak surut untuk berada di puncak Bukit Besar.

Bukit ini memiliki pemandangan matahari terbit dan terbenam yang indah. Gugusan Bukit Barisan yakni, Bukit Serelo, Bukit Beteri, Bukit Besak, Bukit Lepak Kajang, Bukit Teluk, Bukit Kuning dan Bukit Punggou Lanang menampakkan kekohohannya yang memukau mata.

Namun sayangnya, di sela-sela gugusan bukit terlihat jelas berbentuk galian raksana yang merupakan aktivitas perusahaan tambang batu bara. Ada rasa keprihatinan dan kekhawatiran dari wajah pendaki, galian raksasa tersebut menjadi ancaman yang akan menumbangkan gugusan Bukit Besak.

Data Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lahat, pada 2021 mencatat pasokan batu bara di Kabupaten Lahat mencapai 2,2 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batu bara sebesar 20 juta ton per tahun. Kekayaan alam batu bara di wilayah Bumi Seganti Setungguan, itu berada di Merapi Area, meliputi Kecamatan Merapi Barat, Merapi Selatan dan Merapi Timur.

"Cuaca di sini Bukit Besar 10 tahun belakang terasa sangat panas. Pembukaan area tambang batu bara secara masif menyumbang kenaikan suhu. Titik berwana kecoklat-coklatan dari sini (puncak Bukit Besak) adalah galian tambang batu bara," ujar Boni (32) staf Hutan Kita Isntitute (HaKI) Sumsel, sambil menunjukkan jarinya ke beberapa arah berbentuk galian raksasa.

Perubahan iklim serta bentang alam yang signifikan, tidak dipungkiri warga setempat. Bahkan sumber air bersih juga kerap kering. Sementara, sumur gali untuk kebutuhan MCK berwarna keruh (bercampur tanah). "Memang sudah seperti ini kondisinya," tutur warga bernada pasrah.

Daya Tarik Pendaki

Berdasarkan data Pemerintah Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Merapi Selatan, minat wisatawan untuk mendaki ke Bukit Besak terbilang tinggi terlebih hari besar keagamaan, libur nasional (hari kemerdekaan) dan pergantian tahun masehi.

Kepala Desa Tanjung Beringin, Dirlan Bakti mengatakan, bagi warga setempat Bukit Besak merupakan anugerah Yang Maha Esa. Bukan hanya menjadi sumber kehidupan dari mata airnya, juga memberi pundi-pundi rupiah. Seperti jasa ojek, parkir serta guide serta pedagang juga mendapat hasil yang lumayan.

"Jika di tiga waktu, seperti Hari Raya Idul Adha, Tahun Baru dan 17 Agustus, pengunjung membeludak untuk mendapat momen di puncak Bukit Besak," ujarnya.

Dirlan menyebut, untuk mengurus agar pengunjung merasa aman dan nyaman selama berada di sana, pemuda desa membentuk perkumpulan yang disebut Panitia. Mereka inilah yang akan memberikan pendampingan, serta mengevakuasi jika sesuatu menimpa pendaki.

"Terkadang kewalahan, apalagi di musim libur terutama di waktu yang saya sebut. Itu jumlahnya bisa mencapai ribuan. Bahkan pernah kami mencatat itu mencapai 7000 pengunjung," tuturnya.

Semakin tingginya minat wisatawan atau pendaki di sini (Bukit Besak) sambungnya, selaku pemerintah desa pihaknya terus berkoordinasi dengan pihak terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta warganya, agar Tanjung Beringin berkontribusi untuk kemajuan masyarakat dan daerah.

"Sekarang yang kami butuhkan, agar kawasan yang merupakan Hutan Lindung (HL) melalui perhutanan sosial bisa dimaksimalkan masyarakat tanpa merubah fungsi. Infrastruktur tentu menjadi penunjang untuk memberi rasa nyaman," katanya.

Ia juga menyampaikan, penduduk Desa Tanjung Beringin yang mencapai 3000 jiwa rata bekerja sebagai petani, meliputi padi, kopi dan karet. Sebagian masyarakat juga mengembangkan budi daya ikan air tawar sebagai salah satu sumber pendapatan.

Pengusulam Hutan Desa

Kepala UPTD KPH Wilayah 11 Kikim Pasemah (Kipas) Wahyu Pamungkas menyampaikan, Bukit Besat masuk dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Isau-isau yang luasannya mencapai 16.700 ha. Sekitar 312 ha HL yang sejak lama digarap warga saat ini dalam pengusuan Perhutanan Soial dengan skema Hutan Desa (HD) Tanjung Beringin.

"Langkah ini menjadi satu pijakan bagi masyarakat, sesuai dengan kebijakan pemerintah sehingga kawasan ini juga selain dimanfaatkan sebagai lahan kelola sesuai ketentuan yang ada. Fungsinya tidak akan berubah, dan warga juga terlibat untuk memeliharanya," katanya.

Juga mengaku bahwa, Desa Tanjung Beringin memiliki satu potensi wisata alam yang memikat pengunjung, khususnya di Sumsel. Menurutnya, kondisi ini juga akan memberikan satu kontribusi bagi desa dan warga untuk mendapat manfaat.

"Wisata alam yang ada di sana, setidaknya ada 82 kepala keluarga (KK) yang akan mendapat manfaat langsung maupun tidak langsung. Pemerintah di sini tentu memfasilitasi serta mengawasi supaya tidak menabrak ketentuan mengenai hutan kawasan," imbuhnya.

Sementara, Koordinator Program Hutan Kita Institue (HaKI) Sumsel, Bejo Dewangga menyampaikan, pihaknya melakukan pendampingan pengusulan Hutan Desa di Desa Tanjung Beringin yang berada di kawasan Bukit Besak.

"Saat ini pengajuan sudah diusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Semoga prosesnya dapat berjalan sesuai harapan. Tentunya ini akan meberikan satu kemudahan bagi warga desa yang sudah terlanjur menggantungkan ekonomi di sana," ungkapnya.

Dalam pendampingan lanjut Bejo, pihaknya juga meninjau potensi yang bisa dikembangkan sehingga berdampak terhadap perekonomian warga dengan tidak merambah lagi. "Karena penting untuk mempertimbangkan tata kelola sehingga bisa dirasakan hasilnya, untuk pendapatan desa dan kemakmuran warganya," jelasnya.

Ia juga menguraikan skema dalam perhutanan sosial, di mana satu dan lainnya memiliki berbagai skema yang memiliki inti yang masih sama. Ruang pengelolaan kawasan hutan dengan tidak mengubah fungsi dalam kurun waktu tertentu.

Ada skema Hutan Desa (HD), hutan negara yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh lembaga desa dengan tujuan untuk menyejahterakan suatu desa; Hutan Kemasyarakatan (HKm), hutan negara yang mana pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar agar tercipta kesejahteraan.

Selanjutnya Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur untuk menjamin kelestarian hutan; dan Hutan Adat (HA) yang dimiliki oleh masyarakat adat yang sebelumnya merupakan hutan negara ataupun bukan hutan negara.

Pada kesempatan ini, Bejo juga mengaku khawatir masifnya aktivitas tambang baru bara yang beroperasi di sekitar gugusan bukit barisan. Perubahan bentang alam dan juga kondisi air sudah terlihat jelas, sehingga banyak hal yang dikorbankan. Warga juga sudah tidak bisa menggunakan air Sungai Lematang untuk kebutuhan sehari-hari.

"Untuk melakukan (penghentian) secara langsung mungkin tidak bisa. Kami tentunya bekerja melalui potensi yang masih ada, agar alam tetap terpelihara. Semua ada ketentuan batas dan konsekwensi yang harus dibayar. Namun Ketika pemanfaatan dengan ramah lingkungan, jelas bertahan lama dan tidak ada pihak yang dikorbankan," katanya.

Menurutnya, banyak pihak terus mengkampanyekan perihal tambang dengan berbagai solusi yang ditawarkan. Namun pemerintah memiliki cara sendiri menghadi perubahan iklim yang terjadi. Sementara warga selalu terombang abing dengan kebijakan yang tiada pasti.

"Berbicara soal lingkungan hidup, jelas sangat konpleks persoalan di dalamnya. Regulasi yang ada juga saling bertolak belakang. Bagaimana antara warga, pengusaha dan penguasa?," ujarnya.

Bejo juga menambahkan, dalam peranannya Perhutanan Sosial solusi mengurai pemasalahan agraria dan konflik tenurial, pada kawasan yang memiliki sumber daya alam melimpah seperti tambang batu bara juga dapat sebagai benteng ekspansi dan menguras isi paru-paru bumi (kawasan hutan).

"Tentu kita menginginkan perhutanan sosial sebagai benteng pertahanan galian tambang. Ini juga dapat menjadi solusi reklamasi tambang dengan skema dalam perhutanan sosial," tandasnya.

514