Home Nasional Meneropong Masa Depan Arsip, Sejarah, dan Budaya di Era Metaverse

Meneropong Masa Depan Arsip, Sejarah, dan Budaya di Era Metaverse

Jakarta, Gatra.com - Era metaverse yang sudah di depan mata menjadi tantangan dalam pelestarian arsip, sejarah dan budaya. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pun menggelar acara bertajuk 'Masa Depan Arsip, Sejarah, dan Budaya di Era Metaverse' di Gedung ANRI di Jalan Ampera Raya No.7, Jakarta Selatan, pada Senin (5/12).

Perbincangan dipandu oleh Tiara sebagai MC, dengan dua pembicara sesi pembuka, yakni Asep Kambali selaku Founder sekaligus Presiden Komunitas Historia Indonesia dan Stephen Ng selaku CEO Metaverse Indonesia.

Stephen dari WIR Group--perusahaan augmented reality (AR) yang sempat membantu pemilu di Nigeria, kemudian menjelaskan mengenai Nusameta, yakni ekosistem metaverse yang nantinya tidak hanya menampilkan AR, tetapi juga virtual reality (VR) dan artificial intelligence (AI). "Kita kini tidak bisa lepas dari Metaverse karena teknologi seperti VR dan AR sudah digunakan di sekitar, termasuk industri atau kehidupan sehari-hari," kata Stephen.

Menjelaskan soal metaverse terlebih dahulu, Stephen mendeskripsikannya sebagai dunia virtual yang nantinya kita tinggali bersama-sama. Nah, di balik itu, ada teknologi pendukung seperti AR, VR, dan AI.

Nusameta oleh WIR Group sendiri, hingga kini sudah ada ratusan produk yang telah bergabung. Nusameta juga sudah diperkenalkan di G20 lalu, dan kini terus disempurnakan. Nantinya diharapkan Nusameta sudah bisa dinikmati pada Q3 2023.

Mengenai elemen-elemen dalam metaverse, Stephen menyebut ada dua, yakni perekonomian dan peradaban. Khususnya peradaban, kini gen z disebut sudah mulai membiasakan kehidupan dengan metaverse dengan bermain game online.

Namun, ia juga menyebutkan perbedaan metaverse dengan video game, yakni sinkronisasinya. "Perbedaan video game dengan Metaverse ada di sinkronisasinya. Metaverse tanpa logout, jadi berjalan linear dan tersinkronisasi dengan kehidupan," kata Stephen. Kemudian, mengenai kaitannya dengan pengarsipan, metaverse dinilai sebagai tempat yang cocok. Sebab, teknologi yang ada sebelum metaverse hanya untuk pengarsipan, seperti video dan suara.

Sementara di metaverse, peristiwa yang sudah terjadi bisa kembali dikreasikan ulang. Jadinya, pengakses arsip bisa seolah-olah berada di tempat kejadian. "Tentu akan membawa pengalaman menjadi lebih menarik," kata Stephen mengenai penggunaan metaverse terhadap arsip. "Jadi metaverse untuk belajar sejarah, bisa memberikan pengalaman seolah-olah berada di masa itu," lanjutnya.

Sementara dari sisi sejarawan mengenai metaverse, Asep Kambali selaku Founder sekaligus Presiden Komunitas Historia Indonesia menyebutkan bahwa masih ada kesalahpahaman mengenai digital culture.

Kini, kebanyakan orang menganggap bahwa digital culture adalah memindahkan yang sudah ada menjadi digital. Padahal, alih-alih demikian, menurut Asep, digital culture atau budaya digigal adalah cara hidupnya.

"Digital culture, yang dipahami oleh orang-orang saat ini, adalah memindahkan Candi Borobudur ke digital, atau sebagainya. Namun sebetulnya, digital culture itu adalah cara hidup, bagaimana kita menciptakan kehidupan baru di era digital," ujar Asep.

Karena itu, menurut Asep, transformasi digital bukan sekadar mengganti teknologi, tapi juga mengubah paradigma berpikir. Salah satu paradigma berpikir yang mesti diubah adalah tidak membedakan alam nyata dengan maya.

"Padahal (alam nyata dengan maya) itu sama," kata Asep. "Ketika berbicara kasar, efek yang diberikan akan sama. Karena biasanya kita bisa menggunakan nama atau foto samaran, kita jadi berani berbicara kasar. Padahal efeknya sama," katanya lagi. Karena itulah, menurutnya, metaverse disebut juga extended universe, berarti semesta tambahan yang seharusnya tidak dibedakan.

Guna mengenalkan metaverse, Stephen pun turut menjelaskan beberapa istilahnya. Metaverse sendiri merupakan extended reality yang menggunakan web3, yakni 3D computing. Artinya, teks dan suara yang dihasilkan bisa dinikmati secara 3D.

Ada kemudian istilah blockchain, yakni dijelaskan sebagai sistem administratif yang bekerja dengan konsensus alias kesepakatan bersama. Dari blockchain, salah satu yang berhubungan adalah Non Fungible Token (NFT)--aset nilai tak tergantikan, berupa bukti kepemilikan.

"Seperti akta kelahiran sebagai bukti lahir, dan sebagainya. Kurang lebih seperti itu sederhananya. Semuanya hingga kini masih dan terus berevolusi," ujar Stephen.

Perihal generasi z bisa dengan mudah menerapkan budaya metaverse ketimbang generasi di atasnya, Stephen menjelaskan bahwa kuncinya adalah relevansi. Ia menyebut bahwa teknologi adalah alat yang tidak perlu dipaksakan kegunaannya. Semakin relevan, maka bisa dengan mudah diterapkan. "Seperti misalnya, orang tua, di tengah pandemi, jadi belajar menggunakan ojol untuk memesan makanan," kata Stephen.

Mengenai potensi blockchain untuk arsip, Stephen menjelaskan bahwa teknologi tersebut merupakan yang paling ideal. Sebab, menurutnya, penyimpanan arsip fisik saat ini secara volume akan berkembang, sehingga menjadi bencana bila nantinya ada peristiwa tak terduga. "Dengan masuk ke blockchain, akan bisa lebih aman dan bisa disimpan dengan biaya bersama," kata Stephen.

Hanya, masih menurut Stephen, tidak semua arsip bisa di-blockchain-kan karena ada yang merupakan arsip rahasia negara. "Sehingga, dalam praktik transisinya, perlu benar-benar diawasi," ujar Stephen.

Sesi kedua dengan tajuk "Enter the Metaverse" ada Aldi Raharja selaku Head of Blockchain Solution dan Joshua Budiman sebagai Head of Meta Space Solutions.

Menceritakan sejarah metaverse, awalnya dibuat untuk lari dari kenyataan. Hanya, bukan untuk meninggalkan realita, tetapi berkegiatan di realitas baru yang lebih menyenangkan guna refreshing.

Sementara Aldi, menyampaikan bahwa metaverse sebenarnya sudah ada sejak dulu. Seperti tahun 2000, sudah ada video game The Sims dan Second Life yang mirip metaverse. Adapun alasan sekarang kembali melejit, yakni karena teknologi sudah lengkap.

"AI canggih, cloud sudah bagus, dan sudah ada blockchain untuk memastikan bahwa aset itu merupakan milik kita. Kalau dulu, aset digital yang diunggah ke sebuah platform, misalnya Facebook, akan menjadi milik platform itu. Kini, dengan adanya blockchain, kita jadi punya hak terhadap aset digital tersebut," ujar Aldi.

Lanjut ke sesi tiga yang bertajuk Changes and Opportunities bersama Pungkas Riyandi selaku NFT Solution Lead. Darinya, ia menjelaskan bahwa metaverse aman karena sistem blockchain mengamankan aset dari pencurian.

"Contohnya, Asep beli spidol dari Joshua Rp7.500. Kalau di dunia nyata, spidol Asep hilang apabila diambil pencuri," kata Pungkas memberi analogi. "Kalau Blockchain, aset dicuri, Asep tetap tercatat sebagai pemiliknya," kata Pungkas.

Menyebutkan fungsi ANRI di Nusameta nantinya, menurut Pungkas, bisa sebagai sumber konfirmasi terhadap aset yang ada di dalam metaverse. "Seperti bila ada Candi Borobudur, maka ANRI bertugas sebagai pengkonfirmasi kebenaran soal informasinya," kata Pungkas.

Sayangnya, meski menurut Pungkas metaverse itu adalah teknologi menjanjikan, masih belum banyak masyarakat yang belum mengakuinya. "Masih jadi PR buat kami menyebarkan ke orang-orang yang belum mengerti," katanya lagi.   

187