Home Nasional Ombudsman Ingatkan Pemerintah Soal Potensi Penyimpangan atas Keputusan Impor Beras

Ombudsman Ingatkan Pemerintah Soal Potensi Penyimpangan atas Keputusan Impor Beras

Jakarta, Gatra.com - Lembaga Ombudsman RI menegur pemerintah terkait kebijakan importasi beras. Ombudsman meminta agar pemerintah  memperhatikan 12 indikator dalam pengambilan keputusan impor beras berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menjelaskan, keputusan kebijakan  impor beras belum memenuhi 12 indikator, namun hanya sebagian, yakni antisipasi krisis pangan dan minimnya stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola oleh Perum Bulog.

“Hal ini berpotensi menimbulkan maladministrasi dalam pengambilan keputusan impor beras,” tegas Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Kamis (8/12).

Dua belas indikator yang dijadikan acuan untuk importasi itu diantaranya,  perkembangan luas lahan, perkembangan potensi produksi padi dan beras nasional, proyeksi ketersediaan CBP, ketersediaan stok CBP pada Perum Bulog, ketersediaan stok beras di rumah tangga, penggilingan dan pedagang, perkembangan konsumsi beras per kapita, perkembangan ekspor dan impor beras, perkembangan harga beras/stabilisasi harga beras, target penyerapan dan penyaluran Perum Bulog atas produksi beras dalam negeri, kalender masa tanam dan masa panen, ancaman produksi pangan, dan keadaan darurat dan krisis pangan.

Ombudsman juga menyayangkan adanya perbedaan data antara Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog dengan Kementerian Pertanian. Badan Pangan Nasional menyatakan CBP yang dikelola oleh Perum Bulog berkurang 50 persen dari batas aman stok beras sebanyak 1,2 juta ton per tahun, sedangkan Kementerian Pertanian menyatakan stok beras surplus.

Menurut data Ombudsman RI hingga 6 Desember 2022, stok beras total yang dimiliki oleh Bulog mencapai 503.000 ton di mana sebanyak 61 persen dari stok tersebut merupakan CBP.

Pihak Bulog memperkirakan bahwa pada Desember tahun ini masih harus mengeluarkan stok sebanyak 200.000 ton sehingga sisa stok yang ada hanya sekitar 300.000 ton.

Yeka menegaskan apabila melihat data kebutuhan beras nasional dalam sebulan rata-rata mencapai 2,5 juta ton, serta angka stok beras minimum sesuai penugasan kepada Perum Bulog dari Rakortas rata-rata sekitar 1,5 juta ton, maka dengan stok beras yang ada saat ini terdapat gap yang masih perlu dipenuhi oleh Perum Bulog dengan berbagai skema yang bisa dilakukan.

Harga gabah di penggilingan saat ini sudah mencapai Rp 6.000 - 6.300 per kg, dan hal ini akan berdampak pada harga beras di hilir yang idealnya ada pada rentang Rp 11.000 - 12.000/kg.

Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium adalah Rp 9.450 - Rp10.250/kg. Berdasarkan temuan Ombudsman di Provinsi Banten, Bengkulu, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Gorontalo, selama Oktober hingga November 2022, harga gabah terendah yang ditemukan di lima provinsi tersebut adalah Rp 5.150/kg.

“Dengan kondisi harga gabah yang tinggi, Perum Bulog mengalami kesulitan dalam melakukan pengadaan beras dalam negeri, karena harga pasar gabah sudah diatas Harga Pembelian Pemerintah,” jelas Yeka.

Yeka menambahkan, meskipun keputusan impor tidak selalu berdampak buruk, namun pemerintah harus mengedepankan aspek tata kelola yang baik dan tetap perlu mengkaji ulang urgensi impor beras CBP dan dapat memberikan penjelasan kepada publik atas pertimbangan diambilnya keputusan tersebut.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemerintah perlu memperhatikan penetapan waktu impor. “Jangan sampai barang impor tersebut justru tiba di Indonesia pada saat panen raya awal tahun 2023, sehingga tidak memberikan perlindungan kepada kepentingan dan kesejahteraan petani,” tegas Yeka.

146