Home Hukum Hari Antikorupsi, ICW Soroti Sejumlah Problem Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Hari Antikorupsi, ICW Soroti Sejumlah Problem Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Jakarta, Gatra.com - Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun 2022 layak disikapi dengan rasa berkabung. Begitu kata Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebab, ICW menilai, komitmen negara terkait pemberantasan korupsi kini runtuh bersamaan dengan tumbangnya harapan masyarakat Indonesia.

Penilaian ICW itu berangkat dari dua problem utama. Pertama, Wakil Koordinator ICW Siti Juliantari, adanya revisi regulasi kelembagaan yang cenderung menggempur peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, maraknya praktik pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada para koruptor, serta pemangkasan sanksi pelaku korupsi melalui pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Keseluruhan problematika tersebut dihasilkan dengan jalur politik, khususnya pembentukan undang-undang yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo bersama segenap anggota legislatif di DPR,” ujar Siti, Jumat (9/12).

Performa Menurun Penegak Hukum

Tidak hanya itu, ICW juga memandang bahwa permasalahan atas pemberantasan korupsi di Indonesia terjadi dalam struktur hukum yang berlaku. Mereka menilai, performa dari sejumlah lembaga, termasuk KPK, Kepolisian, Kejaksaan, maupun kekuasaan kehakiman praktis terus menurun di setiap tahunnya.

“Performa KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi juga semakin terpuruk di bawah komando Firli Bahuri. Masalah ini praktis semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap KPK,” ujar Siti.

Tren penurunan performa juga terjadi pada lembaga kepolisian. Berdasarkan catatan ICW, Korps Bhayangkara hanya mampu menyelesaikan 7% dari total target sebanyak 813 kasus sepanjang semester pertama tahun 2022.

Hal yang sama juga terjadi pada Kejaksaan, Meskipun banyak mengungkap perkara besar, kata Siti, kabar pemulihan kerugian keuangan negara menjadi jarang terdengar. Ada pula wacana pengampunan pelaku korupsi melalui restorative justice (mediasi) yang ICW nilai tak didasari argumentasi.

Tren penurunan, dalam data ICW, juga terjadi pada performa kekuasaan kehakiman. Hal itu tergambar pada beragam vonis ringan terhadap pelaku korupsi. Kondisi itu bahkan diperburuk dengan penetapan dua hakim agung sebagai tersangka, yang turut mencoreng wajah pengadilan di Indonesia.

Political Will Pembarantasan Korupsi Minim

Adapun dari aspek politik, Siti menyebut urgensi menghentikan laju korupsi belum menunjukkan adanya upaya strategi dan hasil yang maksimal. Hal itu tergambar dari data penindakan KPK, yang menunjukkan bahwa sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah mencapai 496 orang.

“Data ini semestinya menjadi alarm yang harus disambut dengan pembenahan menyeluruh pada sektor politik, terutama dalam lingkup partai politik dan pemilu. Partai politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang seharusnya menjalankan fungsi check and balances justru kompak menunjukkan kesewenang-wenangan dalam penyusunan regulasi bermasalah,” ujar Siti.

Lebih jauh, ICW melihat bahwa konflik kepentingan dengan balutan penunjukkan Penjabat Kepala Dearah terus tampak dalam praktik pemerintahan. Karena itu, ICW menilai, bukan hal yang salah, jika kemudian masyarakat melontarkan kritik tajam atas hal itu.

Survei: Pemberantasan Korupsi Jokowi-Amin Buruk

“Seluruh permasalahan di atas terkonfirmasi dalam beragam hasil survei. Misalnya, Survei Indikator Politik Indonesia pada awal tahun memperlihatkan bagaimana masyarakat menilai buruk upaya pemberantasan korupsi saat ini,” timpal Siti.

Dalam survei tersebut, tergambar bahwa lebih dari 40% responden menilai pemberantasan korupsi era Jokowi-Ma’ruf Amin buruk atau sangat buruk, dan hanya 5,7% yang menilainya baik. Sejalan dengan itu, Indeks Persepsi Korupsi kian lambat beranjak naik. Skor tahun 2021 belum lebih baik ketimbang pencapaian tiga tahun lalu.

Menurut Siti, hal itu menunjukkan bahwa narasi antikorupsi pemerintah dan DPR tidak menunjukkan pencapaian konkret kepada masyarakat. Pasalnya, saat ini, di tengah kondisi korupsi terus merajalela, pemerintah justru dinilai tak memiliki keseriusan dalam pemberantasannya. Dengan demikian, masyarakat pun semakin berada pada posisi yang sulit.

“Satu sisi, masyarakat semakin merasakan dampak dari korupsi dan kebijakan bermasalah. Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada ancaman kriminalisasi saat melapor dugaan korupsi atau menyuarakan kritik atas kebijakan yang semakin tidak menunjukkan keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat,” kata Siti.

Oleh karena itu, ICW berharap agar Hakordia 2022 yang mengambil tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi” tak hanya menjadi jargon atau kegiatan seremonial, maupun upaya pemerintah untuk menarik simpati masyarakat, melainkan tercipta upaya konkret terkait pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Momen ini harus digunakan sebagai momentum serius pembenahan aspek politik dan hukum dari seluruh cabang kekuasaan untuk mengembalikan ruh pemberantasan korupsi seperti sedia kala,” pungkas Siti.

165