Home Ekonomi Liberalisme atau Pragmatisme

Liberalisme atau Pragmatisme

Jakarta, Gatra.com - Majalah ekonomi terkemuka Amerika Serikat (AS), Economist (16/7/09) dalam edisi mingguan mempublikasikan tulisan provokatif kepada para ekonom. Judulnya, “What went wrong with economics? And how the discipline change to avoid the mistake of the past?”.

Ekonom Universitas Chicago, AS, Eugene Fama (1970), populer dengan konsep Efficient Market Hypothesis (EMH) dituding sebagai sumber dari semua masalah yang ada di Wall Street. Wall Street adalah distrik keuangan terdiri dari delapan blok di New York City, AS.

Konsep EMH merupakan konsep tentang kecepatan investor di pasar keuangan mengabsorbsi informasi. Konsep EMH menyatakan bahwa harga asset merefleksikan semua informasi yang relevan di pasar. Konsep ini menjadi fondasi liberalisasi keuangan.

Ekonom AS, Michael Jansen (1978), tidak ada satupun konsep dalam ekonomi keuangan yang paling solid karena didukung oleh empirical evidence yang kuat selain konsep EMH. Kelompok behavioural economics (pendekatan psikologi) menolak klaim tersebut.

 

Debat Liberalisme

 

Perdebatan mengenai liberalisme tidak ada habisnya. Hal ini terkait dengan tanggapan ekonom terhadap krisis keuangan 2009 dan potensi resesi global 2023. Perdebatannya mengatasnamakan dua ideologi, liberalisme dan anti liberalisme.

Liberalisme dan neo-liberalisme pro pasar ditudimg sebagai penyebab krisis. Sebagai contoh, tingginya fluktuasi pasar saham domestik dengan basis emiten dan investor terbatas. Kapitalisasi pasar mencapai 8.255, 62 triliun rupiah tahun 2021.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sangat rentan terhadap aksi jual asing. Aksi jual asing sangat berpengaruh terhadap tingginya volatilitas harga saham. Proporsi asing masih sekitar 30 persen dari total transaksi saham tahun 2021.

Penganut liberalisme dan anti liberalisme menganggap bahwa volatilitas harga saham tidak menguntungkan secara ekonomi. Demikian juga arus modal asing masuk dan keluar yang cepat. Kurs mengalami volatilitas tinggi yang mengganggu pengusaha.

Penganut liberalisme dan anti liberalisme memiliki perbedaan cara mengatasi tingginya volatilitas arus modal. Kelompok anti liberalisme memilih membatasi arus modal. Kelompok liberal, capital control bukan pilihan tepat dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Perdebatan mengenai liberalisme dipicu oleh rekomendasi Asian Development Bank (ADB) ke negara Asia untuk memberlakukan kebijakan capital control mengatasi krisis keuangan 2009. Tujuannya membatasi arus modal masuk dan keluar di negara-negara Asia.

Pembatasan arus modal dimaksudkan untuk mengurangi potensi ketidakstabilan perekonomian di negara-negara Asia akibat arus modal yang mengalami reversal (capital outflow). Sebelum krisis 2009, pasar modal negara-negara Asia menerima capital inflow dalam jumlah besar.

Pilihan capital control jelas bertentangan dengan doktrin ekonomi liberal yang mengandalkan kebebasan arus modal. Anjuran ADB tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis. Rekomendasi ADB lebih bersifat pragmatis untuk menghindari gejolak.

 

Pragmatisme Kebijakan

 

Perdebatan ideologis tidak relevan sejak krisis 1997. Terdapat konsensus bahwa liberalisasi ekonomi adalah pilihan yang sulit dihindari. Fakta bahwa tidak satupun negara bertahan dengan pertumbuhan tinggi yang hanya mengandalkan modal dalam negeri.

Regulator memiliki kebebasan menentukan kadar tingkat keterbukaan perekonomiannya. Konflik AS dan Cina, defisit perdagangan AS terhadap Cina membuat AS memaksa Cina mereformasi regim nilai tukarnya, menjadi free floating.

Pemerintah Cina bertahan pada pilihan fixed exchange rate. Defisit justru dipicu oleh pembatasan ekspor oleh pemerintah AS terhadap produk teknologi tingginya. Pemerintah Cina aktif melakukan devaluasi nilai tukarnya jika overvalued.

Langkah pragmatis dilakukan Malaysia tahun 1997. Sesuai konsep impossible trinity, Malaysia memilih capital control untuk menjamin kestabilan nilai tukarnya. Malaysia secara pragmatis mengorbankan independensi kebijakan moneternya.

Pragmatisme kebijakan juga terjadi di AS. Pemerintah AS memilih membailout institusi keuangan yang berdampak sistemik terhadap perekonomiannya. Pilihan ini bertentangan dengan doktrin ekonomi liberal yang alergi terhadap intervensi pemerintah.

Singkatnya, perdebatan ideologis kebijakan ekonomi semakin tidak relevan. Negara sosialis maupun liberal lebih memilih pragmatisme kebijakan yang memberikan net benefit bagi perekonomiannya.

 

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX Jawa Tengah

553