Home Hukum Perlu Ada Solusi untuk Korban Permainan Hakim

Perlu Ada Solusi untuk Korban Permainan Hakim

Jakarta, Gatra.com – Pembina Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia (LEHI), Prof. Dr. Gayus Lumbuun, mengatakan, perlu ada solusi bagi korban permainan jual-beli perkara oknum hakim.

“Sekarang bagaimana nasib korban jual beli perkara permainan hakim,” kata Gayus dalam seminar bertajuk “Pembenahan Lembaga Peradilan Sebuah Solusi di Tengah Ketidakpastian Penegakan Hukum di Indonesia” di Jakarta, Rabu (14/12).

Kalau langkah konvensional, lanjut Gayus dalam seminar gelaran LEHI dan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) yang dihelat secara hybird ini, mekanismenya yakni banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).

Ia mencontohkan perkara jual-beli perkara termutakhir yang membelit dua hakim agung, yakni Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh. Mereka memutus perkara sesuai dengan yang diminta oleh para penyuap.

“Ini menjadi persoalan bagaimana kita menyikapi ini. Persoalannya, keputusan telah diputus, tapi putusan dengan indikasi adanya jual-beli perkar,” katanya.

Soal upaya hukum PK untuk mengatasi putusan kasasi yang terindikasi terdapat permainan hakim, Gayus yang sempat menjadi hakim agung ini menjelaskan, ada beberapa keterbatasan di dalam PK, salah satunya tidak bisa memperberat vonis atau hukuman.

“Sebagai orang praktisi hukum kita tahu, di PK itu tidak bisa ditambah [memperberat]. Kalau hakim PK mau nambah gimana? PK kan enggak boleh nambah, boleh mengurangi. Nah, coba pikirkan kendala-kendala teknis yuridisnya,” kata dia.

Menurutnya, pihak MA bisa menyampaikan vonisnya tidak masalah karena ada asas bahwa hakim tidak pernah salah. Tapi faktanya, vonis tersebut dijatuhkan karena ada indikasi kuat jual-beli perkara.

“PK itu ada ciri-ciri khusus, tidak boleh ditambah. Nah, kalau ini 5 [vonis] tahun [karena] disuap, artinya kan mestinya bisa lebih 5 tahun. Nah, bagaimana hakim PK akan menambah, enggak bisa,” ujarnya.

“Divonis 5 tahun karena ya memang maunya 5 tahun, makanya dia kasih uang untuk 5 tahun. Lalu apa keadilannya,” kata dia menambahkan.

Atas persoalan itu, Gayus menyarankan agar putusan perkara yang kontroverial karena adanya suap agar dituda (hold). Kemudian Ketua MA membentuk majelis untuk menyidangkan ulang perkara tersebut.

“Harus berani bersikap di situasi sekarang. Untuk memnbuat kepercayaan publik percaya ke peradilan, harus ada ketegasan seorang pimpinan lembaga tertinggi,” katanya.

Ia menyampaikan, ini merupakan kewenangan MA, bukan Komisi Yudisial (KY) karena KY tidak bisa masuk ke teknis yuridis. KY hanya menangani soal perilaku hakim. “Nah, ini harus ada terobosan oleh pimpinan MA, yaitu meng-hold atau menunda putusan itu, bentuk majelis baru,” katanya.

Menurutnya, ketua MA bisa menyidangkan ulang putusan kontroversial karena adanya permainan hakim. “Harusnya sidang ulang, ketua MA harus mengambil sikap tegas, mengambil sidang ulang, karena sidang ini diwarnai dengan penyuapan,” katanya.

160