Home Kolom Pemicu Problem Komunikasi Politik Pendanaan IKN

Pemicu Problem Komunikasi Politik Pendanaan IKN

Jakarta, Gatra.com - Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur dengan nama baru Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara makin mendekati kenyataan setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) disetujui DPR dan ditandatangani Presiden Jokowi Februari 2022. Kabar terbaru, selain Kementerian PUPR mulai membangun jalan tol menuju lokasi IKN, di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, lokasi yang kelak menjadi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) saat ini telah berdiri 11 tower. Gedung-gedung setinggi 6 lantai yang dibangun cepat, setiap tower hanya perlu waktu tiga minggu untuk berdiri itu kini sudah siap menjadi hunian untuk para pekerja membangun IKN.

Presiden Jokowi menyebut alasan utama pemindahan ibu kota negara adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus memacu pemerataan dan keadilan ekonomi di luar Jawa. Karena selama ini kegiatan ekonomi secara umum masih terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Pertanyaannya, benarkah alasan utama pemindahan IKN semata untuk pemerataan ekonomi?

Proses pembuatan kebijakan pemindahan IKN ini dibuat cepat, untuk tidak mengatakan terburu-buru. RUU IKN dibahas kurang dari 2 bulan sebelum disahkan DPR. Wajar ketika banyak orang tidak tahu persis, apa alasan sesungguhnya kebijakan pemindahan IKN itu selain soal pemerataan ekonomi, sehingga memicu rasa ingin tahu lebih mendalam mengenai persoalan ini.

Apalagi ada hak publik untuk tahu mengenai informasi publik (right to know, right to information) yang dijamin oleh UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP No.14/2008) dan konstitusi UUD 1945 pasal 28F. Yaitu bahwa, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Pembangunan IKN memang sudah dimulai, tapi masih ada beberapa isu yang belum jelas benar. Bahkan beberapa di antaranya menjadi kontroversi, seperti isu ekonomi politik, dampak sosial dan lingkungan hidup. Bagian dari soal ekonomi yang masih blur adalah mengenai pendanaan pembangunan IKN.

Komunikasi politik pada isu pendanaan ini sepertinya memilki problematika tersendiri. Komunikasi politik dari para aktor, terutama Pemerintah, pemangku kepentingan, kepada media maupun dengan publik dalam hal kebijakan pemindahan IKN ini juga tidak optimal.

Padahal proyek IKN ini akan melibatkan partisipasi swasta yang tentu tak dapat dilepaskan dari kepentingan para pemodal dan pelaku ekonomi lainnya. Tulisan ini ingin mengupas bagaimana komunikasi politik kebijaka IKN ini berjalan dan mengapa muncul problematika komunikasi politik pada aspek ekonomi, khususnya mengenai pendanaan pembangunan IKN Nusantara?

Untuk menjawab pertanyaan ini, bisa dimulai dari penjelasan Pemerintah tentang sumber pendanaan pembangunan IKN. Menurut BAPPENAS biaya pemindahan IKN ini akan mencapai Rp 466 triliun. Dari angka sebesar itu APBN dijanjikan hanya akan menopang 19,8% (Rp 93,5 triliun).

Sisanya, Pemerintah menyediakan skema Kerjasama Pemerintah & Badan Usaha (KPBU) dengan porsi terbesar, yakni 54,6% (Rp 254,436 triliun), dan Swasta, termasuk investor sebesar 26,2% (Rp 122,092 triliun). Dengan dana sebesar itu untuk membangun IKN Nusantara, ibu kota baru ini nantinya diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dan memacu pemerataan dan keadilan ekonomi.

Hasil penelitian INDEF 2019 tentang dampak pemindahan IKN menyebutkan Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) riil, sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi, akan naik 0,2% baik untuk jangka pendek dan maupun jangka Panjang. Sedangkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya akan naik 0,02% untuk jangka pendek dan 0% untuk jangka panjang.

Artinya pembangunan IKN sebenarnya tidak akan signifikan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi baru. INDEF memberi argumen bahwa proyek IKN ini pada dasarnya memindahkan aktivitas tata kelola administrasi pemerintahan dan bukan aktivitas bisnis dan ekonomi atau perdagangan.

Dalam konteks komunikasi politik, komunikator Pemerintah mestinya bisa merespon hasil penelitian yang jelas membantah argumen bahwa pemindahan ibu kota akan memicu pemerataan ekonomi ini dengan subtansi pesan yang signifikan untuk meyakinkan publik.

Secara teoritis ‘pesan’ dalam komunikasi politik terkonsentrasi pada lingkungan pemerintahan atau yang berhubungan dengan kebijakan publik. Komunikasi politik terjadi ketika masyarakat, media dan pemerintah saling berkomunikasi atau berdialog mengenai isu-isu seputar publik (Pureklolon, 2016).

Dalam model analisis komunikasi Harold D. Lasswell komunikasi didefinisikan sebagai "who says what in what channel to whom with what effect“. Siapa (komunikator) mengatakan apa (pesan) melalui media apa kepada siapa (khalayak atau publik) dengan dampak seperti apa.

Dalam kasus komunikasi politik tentang pendanaan IKN ini siapa (saja) komunikator (pemerintah) tidak terlalu jelas. Dalam isu pendanaan IKN ini juga tidak terdapat ‘narasi tunggal’ sebagai ‘pesan’ yang disiapkan dalam komunikasi politik. Akibatnya komunikasi politik pemerintah pada isu pendanaan IKN ini menjadi problematik dan kontraproduktif.

Faktor Pemicu Problem Komunikasi Politik Pendanaan IKN

Problematika komunikasi politik pada isu pendanaan pembangunan IKN ini muncul karena 3 faktor. Faktor pertama, tidak adanya item rencana strategis komunikasi politik pembangunan IKN dalam Rencana Strategis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) 2020-2024. Meskipun Presiden Jokowi sudah menyatakan rencana kebijakan pemindahan IKN ini pada Agustus 2019, dan proyek IKN ini merupakan program prioritas.

Akibat tidak ada rencana strategis komunikasi IKN ini muncul problem dalam mengomunikasikan pendanaan IKN, setidaknya dalam dua unsur, mengacu pada model analisis komunikasi Laswell. Pertama, unsur ‘komunikator’ (who), siapa yang selayaknya menjadi komunikator pemerintah tidak ditata dan disiapkan secara memadai. Kedua, unsur ‘pesan’ (says what). Dalam program prioritas pemerintahan Jokowi pada periode 2014-2019 selalu disiapkan ‘narasi tunggal’ dalam strategi komunikasi, seperti narasi tunggal mengenai kebijakan ‘Revolusi Mental’ pada 2014.

Namun untuk kebijakan pemindahan IKN ini tidak ada narasi tunggal yang disiapkan Kemenkominfo. Oleh karena itu maka mudah ditemukan pernyataan pejabat pemerintah yang tidak sinergis satu dengan pejabat yang lain. Bahkan kadang bertentangan.

Sebagai contoh, Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Bambang Susantono. menawarkan skema pendanaan pembangunan IKN melalui crowdfunding atau urun dana menjadi alternatif, yaitu melalui dukungan pembiayaan masyarakat untuk pembangunan IKN.

Namun Wakil Gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi menanggapi bahwa rencana crowdfunding juga masih belum pasti dan masih simpang siur, karena harapan terbesar adalah ada investasi. Pernyataan Wagub Kalimantan Timur yang terkesan meragukan pernyataan Ketua Otorita IKN itu termuat di laman resmi Sekretariat Kabinet RI, para Selasa 29 Maret 2022.

Transparan dan Mitigasi Komunikasi Krisis

Faktor kedua, transparansi informasi pendanaan pembangunan IKN yang masih dipertanyakan. Transparansi sumber pendanaan IKN ini perlu dilakukan sejak awal. Sebagaimana pada rencana pendanaan, APBN hanya akan menanggung kurang dari 20%. Selebihnya sekitar 80% dari KPBU dan swasta.

Penting untuk mengomunikasikan rencana mitigasi bila pendanaan terbesar yang berasal dari KPBU dan swasta tidak dapat dipenuhi sesuai tahapan yang direncanakan. Termasuk bila akhirnya harus ditanggung oleh APBN, sebagaimana yang terjadi pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Kekhawatiran bahwa pada akhirnya APBN akan menanggung beban pendanaan IKN bila swasta dan investor tidak kunjung datang, tentu saja sangat beralasan. Mengingat pasca Pandemi Covid-19 ekonomi Indonesia belum sepenuhnya pulih.

Ditambah lagi IMF telah memprediksi perlambatan ekonomi global tahun 2023 akibat perang di Rusia-Ukraina, juga naiknya harga-harga bahan kebutuhan pokok, yang mendorong para investor untuk berinvestasi di aset-aset yang aman.

Dalam konteks komunikasi politik Pemerintah sepertinya tidak merespon kekhawatiran tersebut secara memadai. Akibatnya muncul spekulasi yang justru membuat banyak orang makin tidak yakin apakah pendanaan pembangunan IKN benar-benar bisa diandalkan dari investor.

Faktor ketiga, tidak adanya mitigasi komunikasi krisis. Calon investor pembangunan IKN yang sudah menyatakan komitmennya, yakni raksasa konglomerasi keuangan asal Jepang Softbank melalui CEO Softbank Masayoshi Son menyatakan mundur dari jajaran calon investor, hanya dua hari menjelang Presiden Jokowi menggelar prosesi ritual ‘tanah dan air’ di calon lokasi IKN Nusantara, di Penajam Paser Utara, Kaltim, 13 Maret 2022.

Softbank meminta jaminan 5 juta penduduk di IKN, sementara Bappenas menyatakan IKN hanya akan dihuni sekitar 1,9 juta penduduk. Pemerintah menganggap permintaan Softbank ini tidak realistis. Kabar yang beredar, Softbank menilai bila hanya dihuni oleh sekitar 2 juta penduduk maka secara ekonomi tidak akan menarik bagi investasi, karena pasar tidak akan bergerak dengan layak.

Bila mengacu pada teori ekonomi politik dengan pendekatan klasik (Caporaso, 2008) yang memiliki proposisi bahwa pasar memiliki kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri, maka apa yang menjadi alasan Softbank, bahwa perlu 5 juta penduduk agar ekonomi di IKN dan sekitarnya bergerak, bisa dipahami.

Sebaliknya, bila Pemerintah hanya akan mendanai sekitar 20% selebihnya akan diserahkan ke swasta dan KPBU maka bisa dimaknai bahwa pemerintah sedang menginginkan pembangunan IKN diserahkan kepada pasar dan membiarkan pasar benerja sendiri (Laissez-faire).

Namun dalam konteks komunikasi politik, batalnya calon investor potensial ini tidak direspon dengan memadai secara logika pasar tersebut. Misalnya dengan memberi penjelasan yang rasional bahwa dengan 2 juta penduduk ekonomi dan pasar akan bergerak untuk pertumbuhan IKN nantinya. Namun respon yang dimunculkan adalah bahwa permintaan Softbank tidak realistis.

Respon lain, berupa klaim bahwa masih banyak investor yang berminat. Seperti Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang coba meyakinkan publik bahwa banyak negara tertarik berinvestasi dalam pembangunan IKN, seperti China, Korea, Taiwan hingga Eropa. Bahlil juga memastikan Uni Emirat Arab (UEA) berinvestasi dalam pembangunan IKN Nusantara, dengan komitmen investasi senilai USD 20 miliar, yang menurutnya, sudah diberikan lewat Indonesia Investment Authority (INA).

Padahal menurut Bappenas, para calon investor itu juga masih menunggu skema sebagai pedoman berinvestasi yang ditawarkan Pemerintah, yang tentu akan menjadi pertimbangan soal untung rugi berinvestasi di IKN.

Masalahnya, bagaimana bila skema berinvestasi itu nantinya membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di IKN, sebagaimana yang terjadi pada Sofbank. Karena hampir semua calon investor menunggu skema yang menguntungkan secara bisnis.

Di sisi lain mundurnya Softbank bisa dikatakan sebagai bagian yang membutuhkan penanganan komunikasi krisis. Dalam hal ini Pemerintah, dan semua pejabat sebagai komunikator politik tidak menyikapi hal itu dengan komunikasi krisis yang mencukupi. Padahal mundurnya Softbank akan mempengaruhi calon investor lainnya.

Ketiga faktor penyebab problematika komunikasi politik pendanaan IKN tersebut ada baiknya tidak dibiarkan sebagaimana adanya saat ini. Perlu agenda setting yang jelas, termasuk memastikan komunikator Pemerintah dan narasi tunggal sebagai ‘pesan’ yang kuat, bila memang alasan pemindahan ibu kota negara didasarkan pada argumen yang kokoh.

Kemudian transparan dan sikap terbuka perlu untuk membangun kepercayaan publik, termasuk investor. Bila tidak, maka bukan tidak mungkin spekulasi yang berkembang di publik akan mendominasi wacana publik yang cenderung meragukan isu pendanaan IKN akan mampu dikelola dengan baik oleh Pemerintah. 


Ir. Abdul Rahman Ma’mun, MIP, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik, Universitas Indonesia

1963