Home Ekonomi Eksklusif, Bincang Energi dengan Filda Citra Yusgiantoro

Eksklusif, Bincang Energi dengan Filda Citra Yusgiantoro

Wawancara Khusus

Chairperson Purnomo Yusgiantoro Center (PYC)

Filda Citra Yusgiantoro

“Kami Fokus di Peningkatan Capacity Building Sektor Energi”

-----------------------------------

 

Di bawah kepemimpinan Filda Citra Yusgiantoro, lembaga Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) menjelma think thank energi yang fokus pada riset dan penelitian. Sejak berdiri pada 2016, PYC berkembang progresif di bawah arahan Filda. Hingga kini, PYC konsisten menjalankan sejumlah penelitian yang terpusat pada isu-isu tertentu seperti: energi, lingkungan, dan keberlanjutan, serta pembangunan ekonomi.

Saat ini, Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi klaster isu penting dalam kebijakan global. Sejumlah negara termasuk Indonesia memulai edukasi dan implementasi kebijakan menyangkut pasar karbon, pemanfaatan dan eksplorasi sumber daya alam ramah lingkungan, pengurangan emisi, serta konsumsi energi bersih.

Pada awal 2021, Pemerintah Indonesia mengumumkan target pencapaian netralitas karbon pada 2070. Sebagai pengekspor batubara termal terbesar di dunia, dan industri energi terbarukan yang potensial, target tersebut menjadi tantangan tersendiri. Terlebih, dalam rencana jangka pendek pada 2025, Pemerintah Indonesia membidik pencapaian EBT mencapai 23 persen, yang saat ini pencapaiannya baru mencapai sekitar 12 persen.

Memahami situasi tersebut, Filda Yusgiantoro menekankan peran penting dari think thank energi, konsultan, dan expertise energi untuk menyumbang pemikiran bersama untuk memecahkan persoalan di bidang energi. Karena itu, Filda bersama ayahnya Purnomo Yusgiantoro (mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, mantan Menteri Pertahanan RI, dan mantan Sekretaris Jenderal dan Presiden OPEC) mendirikan PYC sebagai wadah pemikir nirlaba independen yang mempunyai visi menjadi pemimpin pemikiran dan pusat pengetahuan bidang energi dan sumber daya alam berkelanjutan.

Lewat sejumlah kajian riset dan penelitian, Filda memberikan rekomendasi kepada pemerintah seputar energi terbarukan melalui dukungan penelitian dan pendanaan start-up di bidang energi terbarukan. Ia termasuk tokoh yang gencar menyarankan agar Indonesia fokus pada energi terbarukan dan beralih dari bahan bakar fosil. Sepak terjang Filda di bidang energi tidak diragukan lagi. Ia menerima gelar Sarjana Teknik (ST) di bidang Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB); MBM dalam Bisnis dan Manajemen, Università degli Studi Padova, Italia; MBA di bidang Administrasi Bisnis, Nanyang Business School, Singapura; dan PhD dalam Bisnis dan Ekonomi, Monash University, Australia.

Saat ini, ia tercatat menjadi dosen ekonomi untuk program sarjana dan pascasarjana di Universitas Prasetiya Mulya, dan anggota Dewan Penasihat untuk Fakultas Teknik Industri dan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, ITB dan Alumni Group Mentor untuk Monash University. Filda belakangan aktif mengurus kegiatan di ClimateWorks dari Monash University yang fokus pada kolaborasi penelitian di bidang perubahan iklim dan energi hijau. Dalam tujuh tahun perjalanan memimpin PYC, Filda telah membangun kapasitas dan reputasi penelitian bidang energi yang berkualitas. Berikut petikan wawancara wartawan Gatra Andhika Dinata dengan Chairperson Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Filda Citra Yusgiantoro terkait riset energi hingga perjalanan akrier.

Bagaimana PYC memandang kondisi Indonesia saat ini dalam konteks ketahanan energi?

Secara teori dan sudah diterapkan oleh Dewan Energi Nasional (DEN), ketahanan energi terdiri dari 4A. Yaitu, availability (ketersediaan), affordability (harga terjangkau), accessibility (akses penyediaan), dan acceptability (penerimaan masyarakat terhadap infrastruktur). Ini sebetulnya yang paling penting di Indonesia ini, mungkin di negara berkembang lain berbeda, kalau kita yang penting affordability-nya. Apa sih yang harus saya bayar, karena di Indonesia sendiri kan banyak yang low income people, ya udah saya lebih menggunakan energi fosil yang bukan bersih, tetapi harganya terjangkau. Jadi, memang yang bagian affordability yang terjangkau ini yang penting dalam ketahanan energi sehingga masyarakat semua bisa bergerak bersama-sama, kalau misalkan EBT rendah, mereka masih mau dengan harga itu. Jadi, ketahanan energi kita saat ini levelnya “tahan”, udah sangat baik sekali, nilainya 6,57 di tahun 2021. Naik lagi ke level “sangat tahan” itu skornya dari 8-10. Tapi dari pandangan kami ada ancaman-ancaman terkait ketahanan energi kita.

Apa saja klaster isu yang menjadi pembahasan di PYC?

Kita di sini ada tiga fokus penelitian. Yang pertama, energy financing. Jadi, kita melihat potensi pembiayaan serta kami melihat potensi crowdfunding. Crowdfunding ini potensinya besar kalau kita menjalankan urunan dana dari crowdfunding ini, kami ada riset mengenai itu. Kedua, energy and geopolitics, kami lihat dari geopolitiknya. Yang ketiga, environmental management. Kita sedang ada riset tentang pajak karbon juga sekarang. Jadi, semua itu under one umbrella, yaitu ketahanan energi. Kami tidak mengenyampingkan energi fosil, kami hanya melihat gimana supaya energi fosil ini bisa mengurangi CO2, bisa lebih ramah lingkungan. Itu bisa tadi dengan gasifikasi dan likuifaksi, karena sesuatu yang langsung lompat itu susah, karena kita harus transisi dulu. Misalnya, kayak batubara terus minyak juga bisa dilakukan juga untuk bisa ramah lingkungan pakai teknologi CCS/CCUS (Carbon Capture Storage / Carbon Capture Utilization and Storage). Jadi, kajian kami di situ mendukung renewable energy dan energi transisi.

Chairperson Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Filda Yusgiantoro (Doc. Monash University)

Bagaimana Anda memandang potensi EBT di Indonesia?

Kita bicara geotermal Indonesia adalah negara kedua dengan potensi geotermal terbesar di seluruh dunia. Namun, investasinya kan mahal, eksplorasinya juga lama untuk mencapai hal itu, sampai 20-30 tahun. Tapi, kalau kita bicara mikrohidro kita lihat kesiapan dari masyarakat itu sendiri. Kadang-kadang knowledge dari masyarakat itu sendiri tidak mumpuni untuk mengolah potensi di lokalnya. Karena itu, di PYC kami sedang memulai untuk capacity building kayak kemarin kami ada salah satu project di Purwokerto untuk instalasi solar panel, bukan hanya instalasi saja tapi juga kami juga ada semacam peer-to-peer energy trading di mana sebetulnya suatu sistem blockchain yang kami lihat beberapa potensi yang mereka serap untuk listriknya, dan juga kemudian sisanya bisa dibagi-bagi. Itu suatu sistem yang baru di Southeast Asia itu belum ada, kerja sama dengan Pemerintah UK dalam hal ini. Pada saat kita melakukan FGD di Purwokerto untuk hal ini pertama kali, mereka sedikit pesimis. Di jalanan itu sudah ada program pemerintah menggunakan solar panel untuk Penerangan Jalan Umum (PJU) namun banyak yang rusak. Untuk maintenance atau memperbaiki itu mereka tidak paham. Jadi, kontinuitasnya itu yang menjadi masalah.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap penerapan kebijakan pajak karbon?

In long terms itu [kebijakan] baik. Seperti contoh di Australia, mereka pernah menerapkan pajak karbon ini, dan terbukti emisi CO2-nya langsung turun. Kemudian, setelah tiga atau empat tahun yang lalu mereka hentikan, CO2-nya langsung naik lagi. Jadi, dengan kebijakan pajak karbon itu akan baik tapi memang industri akan bertanya bagaimana mekanismenya, kalau dia sistemnya ETS (Emissions Trading System) mereka butuh bantuan juga saya trading sama siapa kemudian datanya harus dikeluarkan untuk mereka trading CO2-nya dengan siapa, tapi ada concern apakah saya bisa trading dengan industri lain di luar Indonesia. Menurut saya, pajak karbon ini baik karena akan menekan emisi CO2.

Apakah background pendidikan Anda sebelumnya mendukung perjalanan karier di sektor energi?

Background saya S1 Teknik Kimia ITB, saya di situ belajar tentang industri kimia, produksi, di laboratorium meneliti. Waktu itu saya meneliti tentang destilasi minyak atsiri (essential oil). Jadi, ada tanaman bunga kenanga, saya masak ambil minyaknya lalu digunain untuk parfum. Setelah itu saya ambil S2 di Prancis, ini saya meracik kosmetika sama parfum waktu itu. Setelah itu saya kerja di multinational company Prancis di bidang kosmetika sama parfum. Kemudian, saya lanjut lagi S2 di Nanyang Business School, Singapura. Saya diperkenalkan finance dan diperkenalkan ekonomi. Akhirnya saya lanjut ke Monash University di Australia, jurusan Bisnis dan Ekonomi. Disertasi saya lebih ke Small Business Landing kayak UMKM dan rumah tangga. Pada saat itu, Pak Purnomo [Purnomo Yusgiantoro] juga ingin membuat think thank PYC pada 2016. Saya selesai tahun 2017, tapi setahun sebelumnya udah diminta untuk kelola. Ya udah saya set PYC ini dari 2016 tadinya lebih banyak ke kegiatan sosial, tapi saya pikir expertise beliau kan energi. Saya masukin penelitian segala macam, akhirnya jalan sampai sekarang. Ini sekarang kita mau jalan menambah penelitian tentang pertahanan.

Apakah ada tantangan ketika Anda memutuskan berkarier di bidang energi?

Beralih dari engineering atau teknik ke bisnis dan ekonomi kan tantangan juga. Saya disuruh membidangi energi itu juga tantangan tersendiri secara pribadi karena saya harus belajar dan tahu tentang energi. Meskipun dari kecil saya sudah lihat Pak Purnomo di bidang energi, tapi kalau di rumah kan beliau enggak ngomongin tentang energi. Malah ngobrol tentang gimana sekolah dan sebagainya, tapi kalau pekerjaannya enggak pernah. Jadi, ini saya sambil belajar sendiri juga belajar dari Bapak Purnomo sama teman-teman yang anak muda ini yang memang background-nya di bidang energi. Jadi, tantangan saya satu, yaitu enrich my personal development. Tantangannya banyak banget di energi ini yang bukan kecil tetapi banyak, ada batubara, migas, biomassa, hydro, geotermal, luas sekali.

Ilustrasi Kampus Monash University (Doc. Monash University)

Bisa diceritakan pengalaman Anda selama menempuh pendidikan di Monash University?

Saya memilih Monash karena instinct saya mengatakan Monash ini bagus. Pertama, kualitas dari profesornya. Waktu itu saya mendapatkan profesor yang bagus dua-duanya di bidang ekonometrika dan di bidang energy economics. Jadi, saya lihat pertama profesor yang memang background-nya bagus sekali. Dari sisi jurnal, mereka sering buat paper. Kedua, Monash itu kampus besar. Meskipun, termasuk baru di antara universitas lain, tapi besar dan international community-nya baik. Saking besar mereka menerima international student-nya banyak sekali. Ini bagus untuk saya menimba ilmu, mendapatkan networking, memang mereka networking alumninya itu kuat banget. Saya beruntung di Monash karena mereka menjalin banget hubungan dengan alumninya.

Apa kesibukan Anda saat ini selain berkarier di PYC?

Saya ngajar di Prasetiya Mulya di BSD Tangerang. Ngajar S1, S2 tentang ekonomi. Terus saya mengajar juga di Atmajaya tentang Sustainability. Yang kedua, saya jadi Board di ClimateWorks Center, NGO di bawah Monash University. Jadi, mereka advokasi untuk climate change untuk Net Zero Emmision, mereka baru ekspansi di Indonesia, ada operational team di sini yang sedang bekerja dengan pemerintah dan institusi lain. Jadi, antara ClimateWorks dan PYC saling melengkapi, karena PYC ketahanan energi, kemudian ClimateWorks ke arah Net Zero Emmision. ITB saya juga jadi advisor board di Teknik Kimia, Teknologi Pangan, dan Teknik Perminyakan.

Apa hobi Anda untuk mengisi waktu luang?

Hobi saya baca buku untuk enrich personal development. Saya suka baca buku, paling spend time buat family. Kemudian, saya bikin restoran Brizola di Tirtayasa, Itu hobi saya sama suami aja bikin restoran kuliner, di mana kuliner ini sudah berjalan hampir 5 tahun. Saya suka makan dan improvisasi aja, suami juga begitu. Lalu, saya juga suka travelling.

**

643