Home Politik Banteng Ngamuk, Jika Jokowi Harus Dianggap Intermezo, untuk PKS dan Demokrat Racun Demokrasi

Banteng Ngamuk, Jika Jokowi Harus Dianggap Intermezo, untuk PKS dan Demokrat Racun Demokrasi

Jakarta, Gatra.com- Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus menyatakan pihaknya merasa kesal dengan taktik politik berbasis fitnah dan adu domba yang kerap dilakukan oleh PKS dan Demokrat.

“Mereka ini sedikit-sedikit melempar fitnah tanpa dasar dan tanpa bukti yang seringkali menyebabkan kegaduhan politik,” ujar Deddy melalui keterangan tertulisnya kepada media, Sabtu (24/12).

Menurut Deddy, fitnah-fitnah dan provokasi tersebut telah dilakukan berulang kali oleh para elite Demokrat dan PKS mulai dari soal (potensi) kasus hukum Anies Baswedan, jegal-menjegal bakal calon Presiden dan Cawapres, tawar menawar kursi kabinet, intervensi KPU dan banyak lagi.

Menurut Deddy, kedua pihak itu dengan mudah melontarkan provokasi dan tangan mereka dengan sembrono menunjuk ke istana hingga Presiden Jokowi. “Ini tidak sehat, asumsi dibangun atas fitnah dan tidak memikirkan dampaknya bagi kualitas demokrasi dan pemilu,” tegasnya.

Anggota Komisi VI DPR RI ini mengatakan bahwa taktik murahan ini sepertinya menjadi pakem bagi kedua partai politik tersebut untuk mendapatkan simpati publik.

“Dari dulu Demokrat itu suka main drama politik, sinetron murahan. Sementara PKS suka menuduh sembarangan tanpa bukti yang logis dan valid. Jadi sepertinya tuding-menuding dan bermain drama murahan memang sudah menjadi menjadi genetika politik dari kedua partai itu,” jelasnya.

Deddy tidak melihat adanya bukti yang koheren bahwa istana bahkan Presiden melakukan intervensi apapun yang dapat digugat, baik secara hukum maupun etika.

Contohnya, Deddy menjelaskan Insinuasi bahwa Presiden Jokowi memihak bakal calon Presiden manapun dengan penggunaan kekuasan haruslah dibuktikan secara hukum dan etika demokrasi.

Lebih lanjut, sejauh ini, Jokowi maupun istana tidak pernah menyebut mendukung nama bakal calon manapun dan tidak pernah menunjukkan preferensi tunggal yang bisa dikatakan memihak atau meng”endorse” calon.

“Bahwa Presiden beberapa kali menyampaikan gimmick atau metafora politik, itu hal yang wajar, menghibur dan harusnya dianggap sebagai intermezo dalam demokrasi. Hampir semua pemimpin di negara demokrasi melakukan hal serupa dan tidak ada regulasi atau konstitusi yang dilanggar. Hal itu masih lebih elegan dibanding dengan Anies Baswedan yang kemana-mana dipromosikan sebagai Calon Presiden oleh partai-partai politik pendukungnya,” paparnya.

Deddy menitikberatkan yang harus diawasi adalah apakah ada penggunaan elemen kekuasaan, anggaran, fasilitas negara yang dipakai untuk mengendorse salah satu bakal calon.

Oleh karena itu, Deddy menilai seharusnya Demokrat dan PKS lebih elegan dalam berpolitik, fokus dalam memperbaiki partai mereka dan mempromosikan calon mereka.

“Tudingan-tudingan yang disampaikan kedua partai itu merupakan racun bagi demokrasi. Sebab politik adalah masalah persepsi dan persepsi bagi masyarakat awam cenderung dianggap realita. Janganlah bermain fitnah dan insinuasi, itu dosa dari sisi agama dan politik kotor yang merusak peradaban politik,” ungkap Deddy.

Menurut Deddy, istana dan Jokowi memang harus merespon tudingan dan fitnah tidak berdasar yang dilontarkan di ruang publik. Sebab jika tidak, maka publik akan menganggap semua itu benar belaka.

“Sebaiknya Demokrat dan PKS memperbaiki cara berpolitiknya agar lebih elegan dan positif. Ini era medsos dimana semua orang bisa mengawasi dan melaporkan segala sesuatu yang terjadi hingga ke daerah pelosok. Kecurangan dan intervensi pemilu seperti yang terjadi dimasa pemilu 2004 dan 2009 apalagi jaman Orde Baru hampir tidak punya ruang sama sekali,” pungkasnya.

196