Home Ekonomi Perang Tarif Transportasi Online

Perang Tarif Transportasi Online

Jakarta, Gatra.com - Isu perang tarif transportasi online masih terjadi hingga kini. Bahkan, hal tersebut sempat menjadi diskursus publik beberapa tahun lalu, setelah harga penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO) Uber dan Lyft anjlok di lantai bursa Amerika Serikat (AS) pada Mei 2018.

Melihat hal itu, perhatian pengamat industri pun tertuju pada nasib perusahaan serupa di negara lain, termasuk Indonesia. Apalagi, kedua pemain besar di Indonesia seperti Gojek dan Grab juga sudah melakukan IPO. Pasar pun mempertanyakan apakah perusahaan tersebut bisa memperoleh keuntungan secara sustainable, atau hanya akan terus menjalankan strategi “membakar uang” atau “jual rugi” untuk menguasai pangsa pasar?

Rasa penasaran tersebut dapat dimaklumi karena menurut dokumen publik S-1 Uber yang disampaikan kepada Securities and Exchange Commission (SEC), Uber membukukan kerugian operasional US$3 miliar pada tahun 2018 dan US$ 4 miliar pada 2017. FactSet tersbeut juga memprediksi Uber akan tetap merugi hingga US$2,14 miliar di tahun 2019.

Sedangkan di Indonesia, kedua pemain besar transportasi online belum ada yang mengklaim telah meraup keuntungan karena keduanya masih berfokus pada pengembangan bisnis dengan cara mengumpulkan modal dan “membakar uang” melalui promosi dan diskon harga yang agresif.

Tidak ada yang salah dalam menggunakan dana investasi untuk pemasaran, tetapi jika dilakukan terus menerus dapat berujung pada praktek predatory atau persaingan yang bertujuan untuk mematikan pesaing.

Di transportasi online, Kementerian Perhubungan sudah mengatur larangan promosi di bawah tarif batas bawah pada taksi online melalui Permenhub 118/ 2018 guna mencegah taktik predator oleh perusahaan berbungkus promosi, sayangnya, belum ada aturan promosi yang serupa untuk ojek online.

 

Strategy “Predatory” untuk Dominasi Pasar

 

Praktek predator umumnya muncul jika salah satu pihak yang didukung oleh permodalan sangat besar memiliki market power lebih besar dari pesaing—yaitu kemampuan untuk mendikte harga yang berlaku di pasar.

Mengutip CB Insights, saat ini valuasi perusahaan Malaysia Grab berada di kisaran US$14 miliar dengan gelontoran terbesar yang datang dari investor raksasa Jepang yaitu Softbank. Sedangkan Gojek berada di kisaran US$10 miliar.

Posisi Grab yang mempunyai modal lebih besar membuatnya lebih leluasa menggelontorkan berbagai program promosi untuk mendominasi pasar. Menurut Henny Sender dalam Channel News Asia, Masayoshi Son, CEO Softbank percaya terhadap prinsip ‘the winner takes all’ di dalam bisnis internet.

Hal ini berarti, Softbank sebagai investor terbesar Grab, akan terus menggelontorkan modal hingga menjadi pemenang satu-satunya dan semua lawan gulung tikar. Dalam perspektif ini, pihak yang kalah adalah siapapun yang kehabisan modal terlebih dahulu, bukan yang mempunyai model bisnis atau kemampuan eksekusi yang lebih buruk (tidak efisien).

Ketika hanya ada satu pemain di industri, pemain tunggal dapat menggunakan kekuatan monopolinya yang berpotensi merugikan konsumen dan pemasok dalam rantai nilai. Seperti yang diungkap oleh otoritas persaingan Singapura, Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS), saat Grab menjadi monopoli di Singapura, CCCS menerima komplain dari mitra pengemudi tentang kenaikan tingkat komisi yang diambil oleh aplikator dari penghasilan driver.

Grab juga memberlakukan kewajiban esklusifitas (exclusivity obligations) kepada perusahaan taksi, perusahaan sewa mobil dan mitra drivernya. CCCS akhirnya menjatuhkan denda lebih dari Rp140 miliar kepada Grab.

 

Perlunya Regulasi

 

Mengingat bahaya dari penguasaan pasar dari praktek jual rugi, kita tidak dapat terus memanjakan keinginan konsumen yang selalu ingin mendapatkan promo dengan tarif semurah-murahnya. Pemerintah harus segera melerai perang di transportasi online ini dengan menetapkan aturan main bagi kedua pesaing.

Misalnya, dengan mengambil tindakan preventif seperti penerapan aturan pembatasan promo agar tidak dijadikan kedok dari praktik predatory pricing yang bertujuan untuk mematikan pesaing.

Pemerintah perlu melakukan kaji ulang Permenhub 12/2019 untuk memastikan bahwa praktek jual rugi berbalut promosi tidak terus berlanjut. Ini akan menjadi preseden bagi instansi pengawas sektoral lain karena praktek promosi jual rugi bisa terjadi di industri lain yang modalnya juga didukung oleh private equity raksasa seperti industri e-commerce atau e-money.

Permenhub perlu menegaskan bahwa promosi yang dilakukan oleh operator transportasi online dan/atau pihak-pihak terkait dengan operator tersebut dapat dilakukan dengan mengacu pada tarif batas bawah. Namun, dibatasi kuantitas dan jangka waktunya, sehingga tetap merupakan praktek ekonomi pasar yang wajar dan bukan praktek jual rugi.

 

 

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/Komisaris Utama PTPN IX

328