Home Hukum YLBHI: Penerbitan Perppu Ciptaker Mengkhianati Konstitusi

YLBHI: Penerbitan Perppu Ciptaker Mengkhianati Konstitusi

Jakarta, Gatra.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja dinilai mengkhianati konstitusi. Sebab, UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. 

Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Selanjutnya, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Selain itu, MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

"Penerbitan Perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo," kata Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (30/12).

Menurut Isnur, hal ini semakin menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna sebagaimana diperintahkan MK.

"Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi," kata Isnur.

Perppu Tak Penuhi Syarat

Lebih lanjut, penerbitan Perppu, menurut Isnur, jelas tidak memenuhi syarat. Misalnya, tidak adanya hal-ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.

Alih-alih menerbitkan Perppu, kata Isnur, Jokowi seharusnya mengeluarkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang masif dari seluruh elemen masyarakat.

"Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perppu," kata Isnur.

Fasilitasi Investor dan Pemodal

Adapun dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi ekonomi Indonesia adalah alasan yang, menurut Isnur, mengada-ada dan tidak masuk akal dalam penerbitan Perppu ini.

Begitu juga alasan kekosongan hukum. Isnur menyebut, hal tersebut justru menunjukkan inkonsistensi di mana pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional.

"Penerbitan Perppu UU Cipta Kerja menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini tampak dari statemen pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan Perppu ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan," Isnur menjelaskan.

Ugal-ugalan Sekali Lagi

Penerbitan Perppu UU Cipta Kerja, dalam catatan YLBHI, juga semakin melengkapi sikap ugal-ugalan pemerintah dalam merumuskan kebijakan seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, dan UU KUHP.

Atas hal itu, YLBHI mengambil sejumlah sikap. Pertama, mengecam penerbitan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja. Kedua, menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK. Ketiga, menarik kembali Perppu 2/2022.

Keempat, menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap konstitusi. Kelima, mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip konstitusi, negara hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.

182