Home Ekonomi Polemik Wacana Tarif KRL, Pengamat Saran Pemerintah Perhatikan Hal Ini

Polemik Wacana Tarif KRL, Pengamat Saran Pemerintah Perhatikan Hal Ini

Jakarta, Gatra.com - Wacana Kementerian Perhubungan bakal membedakan tarif KRL Commuter Line Jabodetabek menuai kritik dari masyarakat. Nantinya tarif KRL Commuter Line ditetapkan untuk orang kaya lebih mahal dibandingkan orang berpenghasilan rendah.

Diketahui, selama ini pemerintah mensubsidi tarif Commutter Line untuk masyarakat. Adapun kontrak PSO (public service obligatian) untuk KRL Jabodetabek tahun 2022 sebesar Rp1,8 triliun. Kemudian alokasi PSO itu turun menjadi Rp1,6 triliun. Sementara itu total PSO transportasi publik tahun 2022 sebesar Rp2,8 triliun, dengan demikian sebanyak 64% dari total PSO dialihkan untuk KRL Jabodetabek.

Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno menilai bahwa seharusnya pemerintah lebih memperhatikan tarif transportasi publik lainnya yang menjadi feeder dari atau menuju stasiun KRL, alih-alih menerapkan perbedaan tarif KRL Jabodetabek.

Musababnya, angkutan KRL Jabodetabek maupun kereta jarak dekat selama ini digunakan sebagian besar warga untuk beraktivitas sehari-hari. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak warga yang menggunakan kereta yang pada akhirnya mengurangi beban jalan raya.

"Yang perlu diperhitungkan adalah ongkos total perjalanan rumah hingga ke tempat tujuan tidak lebih dari 10% penghasilan bulanan," ujar Djoko, Rabu (4/1).

Djoko menyebut berdasarkan Policy Research Working Paper oleh World Bank, belanja transportasi yang tepat bagi masyarakat adalah maksimal 10% dari upah bulanannya. Kajian World Bank itu, kata dia, berdasarkan riset dari negara-negara di Amerika Latin dan negara di Kepulauan Karibia pada tahun 2007.

Sementara itu, survei Badan Litbang Perhubungan tahun 2013 menemukan ketika tarif KRL Jabodetabek ditetapkan satu harga dan murah, total ongkos transportasi yang dikeluarkan pengguna KRL Jabodetabek masih 32% dari pendapatan bulanan.

"Di Perancis dan Singapura sudah bisa menekan hingga 3%, sedangkan China 7%," sebut Djoko.

Meskipun saat ini stasiun KRL Jabodetabek di Jakarta sudah terintegrasi dengan angkutan umum seperti Bus Trans Jakarta dan Jak Lingko, namun jumlah angkutan dari dan menuju stasiun cenderung masih kurang.

"Baru ada Bus Trans Pakuan di Bogor dan Bus Tayo di Tangerang. Ciptakanlah transportasi umum seperti di Bogor dan Tangerang; untuk di Kota Bekasi, Kab. Bekasi, Kota Depok, Kab. Tangerang, Kab. Bogor dan Kota Tangerang Selatan," paparnya.

Ihwal rencana penerapan perbedaan tarif transportasi umum, Djoko mengatakan mekanisme itu sebelumnya telah diterapkan lebih dahulu di sejumlah negara maju. Di Singapura, misalnya, memberikan subsidi ongkos angkutan umum sebesar 25% dan disabilitas maupun pelajar sebesar 50%. 

Selain itu, mekanisme subsidi tarif bagi golongan tertentu juga dilakukan di negara bagian Victoria di Australia yang memberikan subsidi bagi lansia, pelajar, dan disabilitas sebesar 30% di luar jam sibuk, yaitu dari 9.30 pagi hingga 4 sore.

Adapun di Kota Manchester, Inggris, pemerintah di sana memberikan potongan tarif 50% untuk penumpang berpendapatan bulanan kurang dari rata-rata standar minimun dan 35% untuk lansia maupun disabilitas.

Menurut Djoko, pernah ada usulan subsidi KRL Jabodetabek yang lebih tepat sasaran. Yakni pengurangan subsidi tarif pada akhir pekan dan hari libur. Namun, menurut dia usulan tersebut belum digubris oleh pemerintah.

Karena itu, Djoko mengatakan, pemerintah perlu mempertajam lagi kajiannya mengenai subsidi transportasi publik. Saat kajian itu matang dapat diterapkan setelah dilakukan beberapa sosialisasi ke masyarakat.

"Dalam setahun bisa lebih 100 hari di akhir pekan dan hari libur. Jika dikurangi subsidinya, dapat menghemat sepertiga. Anggaran yang dihemat itu dapat dialihkan untuk subsidi angkutan umum feeder dari kawasan perumahan menuju stasiun," imbuh Djoko yang juga merupakan Ketua Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini.

115