Home Nasional Pengamat: Sistem Proporsional Terbuka Tidak Terjadi Begitu Saja

Pengamat: Sistem Proporsional Terbuka Tidak Terjadi Begitu Saja

Jakarta, Gatra.com- Penerapan sistem proporsional terbuka dalam sistem pemilihan umum (pemilu) yang sekarang diterapkan merupakan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2008 lalu. Pengamat politik sekaligus Direktur LIMA Indonesia, Ray Rangkuti mengatakan bahwa hasil keputusan ini secara logika sudah tidak bisa diubah lagi.

"Basis penetapan Putusan MK 2008, bahwa pasal proporsi tertutup itu dinyatakan batal dan melanggar konstitusi (inkonstitusional). Maka, dengan sendirinya tidak bisa lagi dipakai sebetulnya, itu logikanya, final. Kecuali misalnya konstitusinya diubah lagi, karena putusan sudah dibatalkan. Kita harus pakai terbuka," jelasnya dalam diskusi bertajuk "Proyeksi Politik 2023, Membaca Arah Pemilu 2024: Terbuka Atau Tertutup?" yang digelar secara hybrid, Rabu (4/1) sore.

Wacana perubahan sistem pemilihan umum (pemilu) menjadi proporsional tertutup sedang ramai dibicarakan. Hal ini tidak terlepas dari adanya upaya judicial review ke MK terkait dengan aturan pemilu yang ada.

Salah satu argumen yang digunakan oleh pendukung sistem proporsional tertutup yakni adanya liberalisasi politik yang terjadi selama menggunakan sistem proporsional terbuka. Ray turut menyinggung bahwa argumen ini merupakan hal yang tidak tepat.

"Yang agak menggelikan, soal penerapan terbuka yang dianggap liberal, saya tidak tahu di mana demokrasi yang tidak berdasarkan liberalisme. Demokrasi itu jadi ada karena kita merasa liberalisme adalah ideologi yang harus diperjuangkan bersama," paparnya.

Menurutnya, liberalisme ada dalam setiap penerapan demokrasi di negara mana pun. Sebab, filosofi mendasar liberalisme adalah manusia secara individual bisa bebas dari perbudakan.

"Apakah demokrasi Pancasila tidak berdasar liberalisme? Kalau baca Pancasila, UUD, bahwa kemerdekaan adalah hal segala bangsa, itu liberlisme," lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa sistem proporsional tertutup bukanlah sistem yang tidak baik. Baginya, permasalahannya ada pada apakah hal itu tepat bila diterapkan dalam sistem demokrasi di Indonesia atau tidak.

Ray menerangkan bahwa hasil keputusan pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka sudah muncul sejak era reformasi. Adanya upaya perubahan membawa keadilan dan dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat menjadi perjalanan dalam penerapan sistem proporsional terbuka.

"Sebetulnya bukan ujug-ujug begitu saja muncul. Setelah era reformasi, kita telah menggunakan tiga modal penetapan suara pemilu. Pertama, persis seperti orde baru. Kemudian 2004, mulai diubah sedikit, parpol boleh dipilih, caleg boleh dipilih. Namun kalau caleg yang bersangkutan tidak mendapat suara lebih dari 30%, maka suara akan diambil partai dan partai akan mendistribusikan suara," paparnya.

Akhirnya, masyarakat mengajukan judicial review di MK terkait penerapan sistem prorposional terbuka, agar perolehan suara berlangsung dengan fair. Sebab, bagi calon anggota yang tidak terpilih karena memang tidak mendapat suara, dinilai lebih baik daripada suara yang sudah dikumpulkan justru dialihkan ke calon pilihan partai.

Namun, Ray menyatakan apabila MK memutuskan menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk kembali menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup, maka pembenahan parpol menjadi syarat utama. Hal ini diperlukan untuk membangun iklim demokrasi yang berpihak pada kepentingan publik.

"Kalau kita kembali ke proprosional tertutup, harus ada pembenahan parpol. Parpol harus dibuat sebagai partai publik, jadi bukan partai turun temurun, bukan partai keluarga, bukan partai yang dimiliki klan trtentu. Batasi juga masa jabatan ketua umum parpol," tegasnya.

129