Home Kolom Siapa Mencipta Politik Identitas

Siapa Mencipta Politik Identitas

Oleh: Suradi Al Karim

Politik identitas bukan datang dari pemikiran agama. Bukan pula hasil pemikiran para ketua parpol, presiden, ketua MPR, ketua DPR, ketua DPD, ketua KPU, ketua Bawaslu, dan pimpinan komisi II DPR. Politik identitas adalah gagasan sekelompok orang yang keranjingan memanipulasi demokrasi dan menggalang kekuasaan bagi kepentingan oligarki, dan politiknya.

Pengamat selama ini makin suka menggunakan label tersebut karena melihat makin menguatnya penggunaan kosakata politik ini dalam perebutan kekuasaan. Cebong, kampret, kadrun adalah kosakata yang menandai politik identitas. Inilah label-label yang menandai politik identitas sejak masa sukses kepemimpinan nasional tahun 2014-2019. Keindonesiaan kita seakan dibelah dua menjadi yang cebong dan bukan cebong, yang kampret dan bukan kampret, yang kadrun dan bukan kadrun. Lebih menarik lagi, para pendengung, buzzer menjadi dua kelompok yang berhadap-hadapan dalam situasi saling klaim.

Politik identitas sudah sepantasnya tidak dihubungkan dengan masalah agama. Politik identitas sejatinya diletakkan dalam kerangka penguatan identitas kebangsaan yang bineka. Dengan demikian, politik identitas tidak menyegregasi dan memolarisasi bangsa ini yang pada akhirnya bisa merusak toleransi dan keragaman.

Presiden RI Jokowi turut menyuarakan keinginan ini. Dalam sambutannya pada Konsolnas Bawaslu RI di Hotel Bidakara Jakarta (17/12/22), presiden mengatakan setop politik identitas, jangan ada lagi politisasi agama. Kini timbul pertanyaan, kapan politik identitas itu dideklarasikan? Siapa pencipta politik identitas? Apakah presiden harus orang Jawa layak disebut sebagai politik identitas, atau sebenarnya hanyalah bentuk dari politisasi identitas?

Sungguh jelas bahwa kita bukan tukang tenung, apalagi tenung politik identitas, untuk sekadar mengatakan betapa bangsa ini begitu majemuk; dan untuk menyatakan bahwa bangsa pluralis ini merupakan “pasar politik potensial” bagi para parpol yang inklusif, sejuk, dan merangkul, yang diperkuat hadirnya tokoh-tokoh yang punya integritas untuk capres, rasanya juga tidak perlu mengundang tukang tenung, apalagi menjadi tukang tenung sendiri.

Dari dulu bangsa ini adalah bangsa pluralis, bahkan yang paling pluralis di dunia. Bangsa pluralis hanya memenangkan tokoh pluralis yang lintassegmen, inklusif dan punya integritas, serta bersih dan membersihkan. Ibarat air wudlu, ia harus suci dan menyucikan. Bukan air musta’mal, suci tapi tidak menyucikan.

Tatkala ada dramatisasi seolah-olah bangsa Indonensia sendirian dalam hal pluralitas ini, apalagi melalui kata-kata bahwa nilai-nilai pluralitas politik telah mengkristal dan kristal yang baik harus dipetik karena telah menjadi tuntutan publik. Ada efek tertentu, meminjam istilah sosiolog Amerika, Robert King Merton unintended and unrecognized yang dalam fiqh disebut mafhum mukhalafah. Pasalnya, selama ini ada distorsi seakan-akan tokoh pluralis itu ditakdirkan hanya milik kelompok tertentu saja. Penggunaan terminologi “ netral agama” selama ini adalah indikasinya.

Selama ini tokoh yang berlatarbelakang aktivis Islam sering dipersepsikan sebagai “ tidak netral agama” sehingga secara arbitrer tidak berhak menyandang predikat pluralis dan inklusif yang mampu menjembatani pluralitas. Lebih sadis lagi ketika mereka tampil sebagai tokoh pluralis malahan disindir secara halus sebagai keterpaksaan politik karena tuntutan realitas politik.

Ambil misal, banyak tokoh bangsa berlatar belakang gerakan agama kini adalah pluarlis-inklusif sejati. Pakar asing semacam Robert William Hefner, antropolog Boston University pun tahu selama lebih dari 40 tahun menjadi pengamat Indonesia dan khsusunya pengamat umat Islam mengatakan betapa politik Islam sekarang ini jauh lebih pluralis, agama yang menjadi sumber kebajikan bagi semua, rahmatan lil ‘alamin (Al-Anbiya: 107).

Walhasil, politik identitas itu sungguh tidak buruk maknanya, yang buruk adalah politisasi identitas, karena dicirikan sentimen identitas, juga mendasarkan diri pada identitas golongan mayoritas. Padahal, dalam Islam, penghormatan atas kebinekaan ada dalam surat Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling mengenal.”

Tetapi bukankah politik itu seringkali tampil dalam ungkapan “yang penting bukan apa yang dikerjakan tetapi apa yang dikomunikasikan”? Kalau demikian rupa pandangan anak bangsa saat ini, apakah bukankah pada tempatnya bila kita mengajukan pertanyaan lagi, “Apakah ini bukan la’ibun wa lahwun, permainan dan olok-olok yang membosankan?”

Penulis: Advokat Peradi, Panasihat MD KAHMI Kabupaten Banyumas, dan Fungsionaris BPPH MPC PP Kabupaten Banyumas.