Home Nasional Imparsial: Pendekatan Militer di Papua Harus Diganti

Imparsial: Pendekatan Militer di Papua Harus Diganti

Jakarta, Gatra.com - Konflik bersenjata di Papua masih terus menjadi sorotan. Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan bahwa pendekatan humanis diperlukan dalam mengatasi persoalan ini.

"Masih berlanjutnya pendekatan kemanan militeristik di Papua, ini jadi catatan. Ada relasi situasi hak asasi manusia dengan kebijakan keamanan yang sampai hari ini tidak kunjung diselesaikan," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Outlook HAM dan Keamanan Papua 2023" yang digelar secara daring, Rabu (11/1).

Gufron menilai bahwa penyelesaian kasus kekerasan sangat penting, namun upaya penegakan hak asasi manusia (HAM) harus dibarengi dengan evaluasi, koreksi, serta penataan ulang kebijakan dan penyelenggaraan sektor kemanan di Papua. Hal ini harus dilakukan demi mencegah kasus yang sama terus berulang.

"Titik parsialitasnya di situ. Selama sumber persoalan keamanan tidak dibenahi, kekerasan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan akan terus berulang di Papua. Secara kebijakan, pemerintah masih mengedepankan pendekatan kekuatan dalam konteks pengamanan," lanjutnya.

Gufron mengatakan bahwa upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI menjadi salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua.

Tahun lalu, ia menjabarkan dalam catatan Imparsial bahwa ada 63 peristiwa konflik bersenjata yang melibatkan kelompok bersenjata dengan aparat keamanan. Dari peristiwa yang terjadi, pihaknya mencatat terdapat sekitar 61 korban jiwa dari kedua pihak, maupun masyarakat sipil yang berada di lokasi kejadian.

Berdasarkan catatan Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua baik dari unsur organik aupun non-organik diperkirakan mencapai ±16.900 prajurit, yang terdiri dari ±13.900 prajurit TNI organik tiga matra (darat, laut dan udara) dan ±3000 prajurit TNI non-organik. Pada konteks pasukan non-organik, jika dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar pasukan yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur.

"Ada korelasi yang jelas berdasarkan pendekatan keamanan, pelibatan aparat keamanan terutama TNI dengan intensitas kekerasan bersenjata di Papua," ucapnya.

Selama ini, wacana perubahan pendekatan militer ke pendekataan kemanusiaan masih belum diwujudkan secara konkrit. Gufron mengatakan hal ini harus segera dibenahi, agar penanganan konflik bersenjata bisa optimal.

"Saya kira sampai hari ini belum menemukan bagaimana wujud konkrit pendekatan kemanusiaan yang coba didorong. Bentuknya seperti apa? Ada ambiguitas, ketidakjelasan," katanya.

Untuk itu, ia mengatakan bahwa paradigma ini harus diubah. Kekuatan tidak lagi harus dikedepankan dalam konteks penyelesaian keamanan di Papua. Sebab, semakin besar kekuatan yang dikerahkan, justru bisa memicu semakin meningkatnya konflik.

"Pendekatan kekuatan tidak selalu menciptakan keamanan. Perlu ada koreksi dengan lebih mengedepankan aspek akuntabilitas, humanis. Bagaimana kebijakan keamanan membangun trust, terutama dengan masyarakat, bagaimana penghormatan terhadap HAM, demokrasi, dan lebih mendengar masyarakat Papua," pungkasnya.

410