Home Nasional Kemenag: Usulan Kenaikan Biaya Haji Mungkin Tidak Populer, Tapi…

Kemenag: Usulan Kenaikan Biaya Haji Mungkin Tidak Populer, Tapi…

Jakarta, Gatra.com - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat melakukan Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR, Kamis (19/01) menyampaikan usulan pemerintah menaikkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1444 H/2023 M sebesar Rp69.193.733,60.

Tingginya kenaikan biaya haji ini tentunya memberatkan bagi calon jamaah haji. Dari pihak DPR, anggota Komisi VIII dari PKB Lukman Hakim seharusnya kenaikan tidak melampaui angka Rp 55 juta. “Angka itu batas psikologis kenaikan biaya haji yang ditanggung tiap jemaah,” ujarnya, Jumat, (20/01).

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief mengklaim bahwa skema yang diajukan oleh pemerintah tersebut lebih berkeadilan dalam Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M. “Mungkin usulan ini tidak populer, tapi Gus Menteri lakukan demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya," tegasnya.

Menurut Hilman, komposisi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah dan penggunaan nilai manfaat (NM) dihitung secara lebih proporsional. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantri keberangkatan, tidak tergerus habis," terang Hilman di Jakarta, Sabtu (21/01) dalam keterangan yang diterima Gatra.com.

Menurutnya, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan.

Berikut perkembangan BPIH 2010-2022: (sumber data: Paparan BPKH pada Media Briefing, 19 Januari 2023)

1. Tahun 2010: Nilai Manfaat 4,45 juta (13%): Bipih 30,05 juta (87%) = 34,50 juta

2. Tahun 2011: Nilai Manfaat 7,31 juta (19%): Bipih 32,04 juta (81%) = 39,34 juta

3. Tahun 2012: Nilai Manfaat 8,77 juta (19%): Bipih 37,16 juta (81%)= 45,93 juta

4. Tahun 2013: Nilai Manfaat 14,11 juta (25%): Bipih 43 juta (75%)= 57,11 juta

5. Tahun 2014: Nilai Manfaat 19,24 juta (32%): Bipih 40,03 juta (68%) = 59,27 juta

6. Tahun 2015: Nilai Manfaat 24,07 juta (39%): Bipih 37,49 juta (61%) = 61,56 juta

7. Tahun 2016: Nilai Manfaat 25,40 juta (42%): Bipih 34,60 juta (58%) = 60 juta

8. Tahun 2017: Nilai Manfaat 26,90 juta (44%): Bipih 34,89 juta (56%) = 61,79 juta

9. Tahun 2018: Nilai Manfaat 33,72 juta (49%): Bipih 35,24 juta (51%) = 68,96 juta

10. Tahun 2019: Nilai Manfaat 33,92 juta (49%): Bipih 35,24 juta (51%) = 69,16 juta

11. Tahun 2022: Nilai Manfaat 57,91 juta (59%): Bipih 39,89 juta (41%) = 97,79 juta

12. Tahun 2023: Nilai Manfaat 29,70 juta (30%): Bipih 69,19 juta (70%) = 98,89 juta (usulan)

Dari data tersebut, lanjut Hilman, diketahui bahwa pada tahun 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah hanya Rp4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13%, sementara Bipih 87%.

Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19% (2011 dan 2012), 25% (2013), 32% (2014), 39% (2015), 42% (2016), 44% (2017), 49% (2018 dan 2019). Karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59%.

"Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," jelasnya.

Nilai manfaat, lanjut Hilman, bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat.

Jika pengelolaan BPKH tidak kunjung optimal serta komposisi Bipih dan NM masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan terus tergerus dan tidak menutup kemungkinan akan habis pada 2027.

"Jika komposisi Bipih (41%) dan NM (59%), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat habis pada 2027 sehingga jemaah 2028 harus bayar full 100%. Padahal mereka juga berhak atas nilai manfaat simpanan setoran awalnya yang sudah lebih 10 tahun," urainya.

Untuk itulah, kata Hilman, Pemerintah dalam usulan yang disampaikan Menag saat Raker bersama Komisi VIII DPR, mengubah skema menjadi Bipih (70%) dan NM (30%).

78