Home Hiburan Eksklusif! Maestro Musik Indonesia Bicara Orkestrasi Musik Kekinian (Bag I)

Eksklusif! Maestro Musik Indonesia Bicara Orkestrasi Musik Kekinian (Bag I)

Wawancara Khusus

Candra Darusman

Ketua Umum Anugerah Musik Indonesia

“Melalui Seni Kita Selamatkan Negeri Ini”

------------------------------

 

“Segala sesuatu mulai dari hati baru ke pikiran. Jadi, kalau kita bisa mengisi hati kita, hati bangsa dengan hal-hal yang penting dan fundamental dan masa depan Indonesia mulai dari situ. Salah satu metode untuk menggapai hati itu dengan bermusik”.—Candra Darusman.

 

Industri musik Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan beberapa tahun terakhir. Hadirnya sejumlah talenta berbakat dan musisi muda di belantika musik tanah air menorehkan harapan akan optimisme kemajuan musik Indonesia. Setelah sempat dihantam badai pandemi sejak 2020 yang berdampak pada seluruh pelaku usaha ekonomi kreatif, kini sektor musik dan film kembali tumbuh. Terlebih, era teknologi berdampak pada masifnya penggunaan platform digital yang menjadi medium masyarakat khususnya anak-anak muda untuk berkreasi mencipta sekaligus menikmati karya lagu.

Meski sektor musik belum memberikan kontribusi maksimal terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di Indonesia, sektor ini dinilai masih punya potensi besar untuk tumbuh dan berkembang. Pemerintah dituntut untuk memberikan perlindungan dan pembinaan untuk memacu ekosistem industri musik. Keberadaan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga dinilai masih belum mengakomodasi pesatnya pertumbuhan industri musik yang bertransformasi ke ranah digital. Di samping itu, pemerintah perlu menjamin keberlangsungan usaha para musikus dari sisi hak cipta dan kekayaan intelektual. Kolaborasi bersama diperlukan antara Kementerian Hukum dan HAM, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), dan asosiasi profesi untuk mendorong perubahan tatanan di industri musik.

Di sisi global, pedoman standar terkait Layanan Kekayaan Intelektual diberikan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), salah satu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bermarkas di Jenewa, Swiss. Badan ini menawarkan berbagai layanan untuk melindungi kekayaan intelektual lintas batas, dan mendorong penyelesaian sengketa kekayaan intelektual di luar pengadilan. Untuk mengetahui lebih jauh terkait perkembangan industri musik Indonesia beserta persoalan aktual terkait kekayaan intelektual di bidang musik, wartawan Gatra Andhika Dinata mewawancarai musikus dan komposer Indonesia, Candra Darusman di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, pada 21 Januari 2023.

Candra Darusman merupakan legenda musik yang dikenal publik melalui grup “Chaseiro” dan “Karimata”. Mantan Deputy Director WIPO ini kini menjabat sejumlah posisi penting di asosiasi musik Indonesia, mulai dari Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) dan Ketua Umum Anugerah Musik Indonesia (AMI). Lelaki jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini juga didapuk sebagai pengawas di Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Berikut petikan wawancara dengan pelantun tembang “Kau” dan “Kekagumanku” itu.

Legenda Musik Indonesia dan Ketua Umum AMI Candra Darusman (GATRA/ Ardi Widi Yansyah)

Bergabung di WIPO setelah sekian lama dan pulang ke Indonesia, apa yang saat ini menjadi fokus kegiatan Anda?

Jadi, saya sudah 18 tahun bergabung dengan WIPO sejak 2001, di mana 9 tahun di Swiss, Jenewa, dan sembilan tahun di Singapura. Tadinya saya ada kesempatan untuk kembali ke Swiss tapi saya memutuskan untuk kembali saja ke Indonesia, saya kangen sama gado-gado, paling favorit sama gado-gado, dan ketoprak hahah. Sepulang dari sana, saya langsung diminta teman-teman untuk memimpin beberapa organisasi antara lain Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), kemudian diminta memimpin Anugerah Musik Indonesia (AMI). Selain itu, saya juga disibukkan dengan menjadi pengawas dari LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), lembaga koordinasi untuk mengumpulkan royalti, jadi saya pengawasnya. Setelah itu, saya kadang-kadang diajak teman-teman bikin rekaman, bikin single, bermain musik, meskipun sebagian kecil dari waktu saya. Jadi, udah cukup menyita waktu dengan itu, saya juga secara keseluruhan juga sedikit slow down dalam berkehidupan.

Apa saja yang menjadi fokus perhatian FESMI dan AMI saat ini?

Jadi, FESMI itu mengurus hak profesi. Kalau AMI itu mengurusi pemberian penghargaan kepada musisi. Kalau LMKN mengurusi hak cipta. Ini berbagai fase dari kehidupan seorang musisi. Profesinya menyangkut bagaimana memperbaiki kondisi kerja dari musisi. Begitu juga hak buruh, berserikat, bagaimana memperjuangkan hak-hak ekonomi sosial. Kalau di LMKN memperjuangkan hak ciptanya, ngurusin lagi, meskipun sebagai pengawas. AMI memberikan penghargaan selama 25 tahun, saya termasuk salah satu yang merintis AMI, setelah sekian lama di luar, giliran saya sekarang diminta memimpin selama tiga tahun. Jadi, senang aja apa yang saya pelajari sekian lama di luar negeri bisa saya berikan atau saya sumbangkan dan sharing ke musisi Indonesia.

Sebagai seorang legenda musik semua keberhasilan sudah Anda capai, apa visi ke depannya?

Kalau istilahnya Jack Ma, umur 20-40 tahun cari bos yang baik, umur 40-60 tahun kerjakan apa yang kamu suka, umur di atas itu ajari anak muda dan sering-sering ketemu cucu. Cari anak muda untuk memberikan ilmunya dan sering bertemu cucu, kira-kira begitulah, fase saya di situ sekarang melalui FESMI, melalui AMI, dan LMKN, bagaimana kita mencari generasi muda supaya bisa meneruskan lagi. Dalam perjalanan memperbaiki itu, banyak aja orang yang enggak suka. Tapi itu butuh proses, memang banyak wisdom-nya tetapi dalam praktiknya ya itu. Misalnya, mengumpulkan royalti itu manajemennya bagaimana, kontrolnya bagaimana, membaginya bagaimana itu ada ilmunya sebenarnya. Bukan sekadar bikin perusahaan atau yayasan pokoknya kumpul sebanyak-banyaknya lalu bagi sebanyak-banyaknya.

Ilustrasi Album Candra Darusman (Doc. Spotify)

Apakah talenta muda sekarang sudah sesuai dengan harapan?

Bicara generasi muda mereka talenta dan skill-nya itu luar biasa, hebat-hebat, bagus-bagus. Kalau dulu belajar musik itu otodidak kan. Sekarang banyak sekali mereka yang sekolahan, baik di luar negeri atau sekolahan di sini yang jalur musik, dan banyak sekali materi edukasi musik di social media. Tapi yang juga mesti kita soroti adalah soft skill-nya. Bagaimana bergaul, bersikap profesional, tepat waktu. Soal kecil aja misalnya tepat waktu. Kemudian enggak semata-mata mencari proyek yang honornya paling tinggi. Jangan mentang-mentang udah komit terus ada job yang lebih besar, dibatalin yang ini. Jadi, tepat waktu, integritas, lalu bergaul dengan sesama. Di grup musik itu kan bagaimana caranya menahan ego. Hal-hal ini yang kita coba share dan berbagi ke generasi muda. Kalau soal skill, kita enggak usah omongin lagi, [generasi muda] lebih jago. Dan bagaimana sebagai musisi itu punya tanggung jawab dalam arti kalau bikin lagu bagaimana lagu itu bisa mewakili personal masyarakat. Di organisasi di FESMI, dan LMKN saya juga coba kadang-kadang ngomongin soal ini, diterima atau tidaknya bukan urusan saya lagi.

Apa saja ruang lingkup tugas LMKN ini?

Kita bicara soal LMKN, LMKN adalah lembaga manajemen kolektif, yaitu mekanisme untuk mengkoordinasi 11 lembaga kolektor yang ada. LMKN berdiri pada 2015 sebagai lembaga bantu pemerintah non APBN yang berada di bawah Kemenkumham. Jadi, di Indonesia ada 11 lembaga manajemen kolektif yang mengumpulkan royalti. Ini kalau dibiarkan begitu saja bisa tumpeng tindih kewenangan. Kalau mereka dibiarkan menagih sendiri nanti ada suatu restoran yang didatangi oleh 11 lembaga. Jadi, semuanya dikoordinir oleh lembaga manajemen kolektif nasional ini, restoran hanya bayar satu pintu aja. Dan transisi dari 11 ke satu lembaga ini enggak gampang karena mereka sudah terbiasa sendiri-sendiri. Ini menyangkut efisiensi, kontrol, dan juga koordinasi siapa menagih apa dan di mana. Masa transisi ini yang perlu kita kawal agar mencapai tujuannya yang satu pintu itu. Ada progress dan kita harapkan dalam dua tahun nanti akan lebih mantap dan lebih solid lagi. Saya bantu memberikan kiat-kiatnya berdasarkan benchmark di luar negeri. Saya sebagai pengawas bertugas mengawasi kinerja dan mengawasi keuangan. Kita memastikan agar berapa yang terkumpul dan berapa yang dibagikan itu dikasih ke masyarakat secara akuntabel dan transparan. Untuk mengukur kinerjanya, governance dan tata kelolanya juga kita sorot. Jadi, kita menghendaki agar setiap lembaga manajemen kolektif selalu memberikan laporan audit, terus kita nilai efisien apa tidak. Mudah-mudahan dalam tiga bulan ini kita akan mempublikasikan kinerja dari masing-masing LMKN itu supaya pencipta karya bisa lihat mana yang berprestasi, mana yang bisa dipercaya, dia bisa pindah ke toko sebelah. Ini semuanya dalam rangka hak cipta itu berjalan di Indonesia, enggak hanya sekadar undang-undang.

Bagaimana penilaian Anda terhadap UU Hak Cipta saat ini?

Kita ada UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Itu enggak hanya musik tapi juga buku dan sebagainya. Tadi itu kan yang saya bilang Hak Cipta di Indonesia enggak beres-beres. Hal itu karena selalu ada perkembangan teknologi yang menghendaki agar rumusan-rumusan dalam UU diperbaiki. Dan sifatnya UU memang begitu, setiap negara setiap lima tahun ada revisi. Perlu diperbaiki mengikuti perkembangan teknologi. Sejarahnya dulu ada mesin fotokopi, ada radio, ada televisi, sekarang digital. Jadi, UU Hak Cipta yang lama enggak bisa dipakai lagi untuk eksploitasi baru. Di UU lama bagian eksploitasi digital tidak sepenuhnya terakomodasi terutama bagaimana bisa memanfaatkan eksploitasi karya dari platform-platform yang baru seperti YouTube, Spotify, dan Streaming ini perlu aturan-aturan baru. Karena kalau tidak perusahaan teknologi ini enggak kebendung. Jadi, perkembangan teknologi terjadi terus menerus dan perusahaan teknologi itu sedapatnya tidak melupakan hak-hak dari pemilik karya. Dalam bidang jurnalisme juga begitu bagaimana Google dengan artikel-artikelnya bagaimana mereka dituntut akhirnya untuk memberikan penghargaan pada koran dan majalah.

Bersambung ke Bagian II

**

178