Home Ekonomi Industrialisasi tanpa Kawasan Industri

Industrialisasi tanpa Kawasan Industri

Jakarta, Gatra.com - Transformasi ekonomi nasional tidak berjalan normal dari negara agraris ke negara industri, tetapi bersifat langsung dari negara agraris ke negara perdagangan dan jasa. Bahkan terdapat gejala deindustrialisasi prematur yang ditandai oleh pergeseran struktur perekonomian nasional ke sektor perdagangan dan jasa tanpa melalui proses industrialisasi yang mapan.

Pola pergeseran struktural yang sama juga terjadi di berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI), khususnya kota Makassar dan propinsi Sulsel, yaitu dari daerah agraris langsung ke daerah perdagangan dan jasa. Makassar pun sebagai sentra bisnis utama KTI sangat didominasi oleh lapangan usaha perdagangan, jasa, hotel, dan restoran (PHR) serta sektor keuangan.

Sayangnya, perekonomian Kota Makassar dan Provinsi Sulsel tidak pernah mengalami proses industrialisasi yang mapan. Seperti yang dipaparkan Ekonom dari Harvard University, Dani Rodrik yang banyak meneliti mengenai hubungan globalisasi dan kemajuan ekonomi suatu negara, menemukan bahwa negara Emerging Market Economies (EMEs) mengalami proses “premature deindustrialization”.

Yakni, di mana negara EMEs kehilangan banyak kesempatan kerja di sektor manufaktur sebelum negara yang bersangkutan menjadi kaya. Negara-negara EMEs kehilangan kesempatan kerja dan nilai tambah di sektor manufaktur sejak tahun 1980-an.

Mengapa pola transformasi perekonomian nasional dan KTI berjalan tidak normal, berbeda dengan negara lainnya, seperti Malaysia, Cina, dan Jepang? Jawabnya, perekonomian nasional dan daerah-daerah di KTI tidak mampu mengembangkan sektor industri pengolahan, khususnya resources based industry berorientasi ekspor.

Daerah-daerah di KTI sejak awal luput mengembangkan platform industri yang fokus membangun global supply chain dengan negara lainnya, seperti Malaysia, China, Jepang, Singapura dan Korea Selatan. Perekonomian KTI bahkan terjebak dalam “sindrom penyakit Belanda” atau Dutch Diseas, yaitu eksploitasi SDA secara besar-besaran disertai oleh kemiskinan tinggi.

 

Tanpa Kawasan Industri

 

Lemahnya pengembangan kawasan industri di KTI menggiring perekonomian regional ke dalam value added trap (perangkap nilai tambah). Hal ini nampak pada lemahnya kemampuan dunia usaha menyesuaikan dengan regulasi pembatasan ekspor komoditi non olahan.

Sebagai contoh, Kawasan Industri Makassar (KIMA) yang diorientasikan menjadi integrated industrial estate terbesar KTI hanya diisi oleh kegiatan perdagangan.

Kegiatan manufaktur di KIMA hanya sebatas menghasilkan barang antara dengan rantai nilai yang pendek. KIMA belum memiliki industri (jika ada jumlahnya kecil) yang menghasilkan produk akhir yang bisa langsung digunakan oleh end user. KIMA juga tidak fokus mengembangkan kelompok industri berbasis sumber daya alam (SDA), apa lagi industri berbasis teknologi tinggi.

Bisnis utama KIMA identik dengan bisnis lahan pemakaman “San Diego Hills Memorial Park” di Karawang atau bahkan lebih buruk. KIMA lebih banyak fokus pada penjualan tanah kavling industri, penyewaan bangunan pabrik siap pakai (BPSP), dan gudang. Supporting business hanya sebatas penyewaan alat berat, rumah susun untuk pekerja, automotive centre, dan ditambah unit bisnis baru pencucian mobil.

Kondisi ini sangat kontras dengan Bayan Lepas Free Industrial Zone (FIZ) di Penang, Malaysia. Pengembangannya sudah memasuki tahap akhir sejak pertama kali dikembangkan pada tahun 1970-an.

FIZ Penang memilih fokus pada pengembangan kawasan industri berbasis teknologi tinggi. Tujuannya, menjadikan Penang sebagai perekonomian nomor tiga terbesar di Malaysia setelah Selangor dan Johor.

Hingga pase akhir pengembangan FIZ Penang, jumlah perusahaan terus bertambah dan semakin fokus pada industri teknologi tinggi. Perusahaan multinasional berbasis teknologi tinggi seperti Dell, Sony, Intel, DHL Exel, Motorola, Fuji, dan lainnya sudah menjadikan FIZ Penang sebagai basis produksi global untuk ekspor ke Asia dan kawasan lainnya.

Kisah sukses Penang industrial estate tidak terlepas dari kemampuannya mengembangkan global supply chain dalam pola intra-industry trade (IIT) atau perdagangan dalam industri yang sama. IIT di Penang berkembang secara vertikal (tahap produksi yang berbeda) dengan industri sejenis di negara lainnya, seperti Jepang, Taiwan, Cina, dan Korea Selatan.

 

Akselerasi Industrialisasi KTI

 

Pemerintahan Jokowi sejatinya telah memperkenalkan kebijakan pembangunan yang berorientasi Indonesia centris, yaitu fokus pembangunan tidak hanya Pulau Jawa tetapi tersebar dari KBI ke KTI.

Kebijakan ini bertujuan untuk mengakselerasi proses transformasi ekonomi nasional ke arah resources based industry untuk daerah di luar Jawa dan industri teknologi tinggi untuk daerah-daerah di pulau Jawa.

Kebijakan Indonesia centris mendorong aktifitas ekonomi dengan prinsip business not as usual. Fokusnya pada pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jawa. Di mana kurang lebih separuh pusat pertumbuhan baru yang akan dipercepat pengembangannya terdapat di KTI. Aktifitas utamanya menghasilkan komoditi pertambangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan olahan dengan nilai tambah tinggi.

Strategi yang sama juga pernah dilakukan di Cina, yaitu mendorong berkembangnya 12 kota yang setara dengan Singapura sebagai pusat pertumbuhan. Pemerintah Cina memulai dengan membangun Shenzen sebagai special economic zone (SEZ). Keberhasilan Shenzen yang kemudian menjadi contoh sukses untuk direplikasi di kota-kota lainnya di Cina.

Industrialisasi di KTI sulit terwujud tanpa upaya sungguh-sungguh untuk mengembangkan integrated industrial estate di empat koridor ekonomi yang terdapat di KTI. Sebagai contoh, Makassar industrial estate yang 60 persen sahamnya dimiliki oleh kementerian BUMN harus didukung oleh infrastruktur dasar yang memadai, seperti jalan, listrik, lembaga riset, jasa penyedia tenaga kerja, lembaga pelatihan, pembiayaan, pemasaran, transportasi laut, dan lainnya.

Alhasil, kebijakan hilirisasi memang sukses mengurangi ekspor produk non olahan. Namun lagi-lagi, industrinya bukannya mendekati bahan baku, seperti nikel yang banyak terdapat di Sulawesi dan Halmahera, Maluku Utara, tetapi lebih memilih Batang, Jawa Tengah sebagai pusat pengembangan baterai listrik nasional.

Alasannya belum berubah, biaya membangun pabrik di Makassar dan Halmahera sangat mahal karena terkait dengan angkutan laut yang belum optimal, keterbatasan ketersediaan input SDM, dan kondisi kawasan industri yang kurang mendukung.

Idealnya, KTI yang luasnya lebih dari separuh Indonesia didukung SDA melimpah memiliki 10 kawasan industri tertintegrasi dengan level produksi yang berbeda-beda. Masing-masing kawasan industri terhubung satu sama lain sehingga membentuk vertical intra industry trade dalam regional supply chain dengan merek dagang KTI, seperti Celebes corn, Moluccas tuna, Celebes cocoa, Toraja coffee, dan lainnya.

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/Komisaris Utama PTPN IX

183