Home Info Sawit Mimpi Buruk Petani Sawit Indonesia; Dijegal, Diuber

Mimpi Buruk Petani Sawit Indonesia; Dijegal, Diuber

Jakarta, Gatra.com - Gimana pun gonjang-ganjing industri kelapa sawit dunia tahun lalu, Gulat Medali Emas Manurung tetap optimis bahwa tanaman asal Mauritius Afrika Barat itu bakal semakin dibutuhkan dunia.

Tengok sajalah waktu Indonesia membikin kebijakan stop ekspor minyak sawit. Semua negara yang pernah berurusan dengan Indonesia, kelimpungan.

Banyak yang membujuk dan bahkan ada yang langsung menelepon Presiden Jokowi agar kran ekspor segera dibuka.

Soalnya di pasar modern, sudah tak ada lagi bahan makanan hingga obat-obatan berbahan sawit. Industri kimia berbahan sawit juga sudah mulai oleng, begitu juga industri biofuel.

"Dari situasi itu kan bisa kita tengok bahwa dunia sangat membutuhkan minyak sawit. Lantaran itulah kami petani sawit Indonesia yang luas lahannya mencapai 42 persen dari 16,38 juta hektar total luas kebun kelapa sawit Indonesia tetap optimis," ujar Ketua Umum DPP Apkasindo ini jelang sore tadi.

Apa yang dibilang ayah dua anak ini soal dunia sangat butuh minyak sawit itu, tak berbeda dengan hasil penelitian Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).

PASPI mengatakan bahwa sejak 22 tahun lalu Uni Eropa sudah berangsur memakai minyak nabati sawit ketimbang selain minyak nabati dari rapeseed. Bahkan sejak 12 tahun lalu penggunaan minyak sawit itu semakin mendominasi.

Biar tahun ini peran petani sawit semakin nampak kata Gulat, sederet persoalan yang selama ini membelenggu, musti diberesi.

Baca juga: Kinerja Aneh Industri Sawit Indonesia

"Kami berharap pejabat terkait jangan tersinggung dengan usulan kami, sebaliknya, dengarkan dan layani keluhan kami, berani lah keluar dari zona nyaman biar belenggu yang selama ini menyiksa kami, lepas," pinta Gulat.

Ada dua belenggu besar itu. Belenggu besar kedua adalah pupuk. Naiknya harga pupuk hingga 300% telah benar-benar membikin petani klenger. Sampai-sampai pada periode Juni-Desember tahun lalu, petani memilih untuk tidak memupuk sawitnya.

Untunglah akhir Desember, harga itu turun hingga 150%. Tidak memupuk berarti siap-siaplah kami anjlok produksi TBS terkhusus di 2023 ini.

Biar yang semacam ini enggak kejadian lagi, DPP Apkasindo berharap agar Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk dibikin.

"Ngapain juga BUMN Pupuk cetak rekor untung hingga Rp19 triliun kalau di saat bersamaan devisa dan pajak minyak sawit yang lebih besar yang bakal diterima negara malah jebol. Ini baru devisa dan pajak lho, belum lagi efek ganda akibat usaha sawit petani itu," ujar auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.

Biar HET itu bisa dilakukan kata Doktor Agro-Ekosistem ini, bisa juga duit program Sarana Prasarana (Sarpras) yang masih ngendon di kocek Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dipakai untuk membeli pupuk dari BUMN itu dan kemudian dijual kepada petani pakai HET. "Apalagi duit Sarpras itu kan belum pernah dipakai untuk pupuk," katanya.

Nah, belenggu terbesar yang dihadapi petani itu kata Gulat adalah yang berkaitan dengan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Sebetulnya, semua orang tahu kalau program PSR itu adalah solusi paling jitu untuk meningkatkan produksi Crude Palm Oil (CPO) pasca moratorium perizinan baru dan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

"Roh dari PSR itu adalah intensifikasi, meningkatkan produksi tanpa memperluas lahan garapan. Dengan PSR,

produktivitas kebun rakyat yang tadinya hanya di kisaran 12 ton per hektar per tahun, bisa digenjot menjadi sekitar 36 ton per hektar per tahun. Ini berarti, produksi CPO yang cuma 2,52 ton per hektar per tahun akan melonjak menjadi 8,64 ton CPO per hektar per tahun," Gulat merinci.

Tapi yang semacam ini teramat sulit digapai oleh petani meski telah banyak slogan yang sudah dibikin demi menggenjot capaian PSR itu.

"Ada slogan percepatan PSR, pemberdayaan kebun sawit rakyat, implementasi GAP, sosialisasi PSR dan lainnya. Cuma Turbolisasi PSR saja yang belum dibikin jadi slogan," Gulat tersenyum kecut.

Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa capaian PSR itu tak sesuai harapan dan bahkan tahun lalu cuma dapat sauprit; hanya 9,8% dari target 180 ribu hektar?

"Apapun istilah yang dipakai enggak akan ngaruh kalau regulasi yang mengatur syarat PSR itu tidak masuk akal. Itu saja kuncinya," ujar Gulat.

Lelaki ini kemudian mencontohkan aturan Kementerian kehutanan dan Kementerian Pertanahan yang kemudian berkumpul di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).

"Semua Kementerian ini punya andil memasang "portal" untuk menjegal capaian target PSR yang sudah dibikin Presiden Jokowi sejak tahun 2016 itu," tegasnya.

Tak sembarangan Gulat mengatakan itu. Soalnya begitu Permentan 03 tahun 2022 lahir pada bulan Februari, PSR kembali terjegal.

Soalnya di dalam Permentan itu dimasukkan syarat PSR harus bebas gambut meski KLHK mengaku tidak pernah mengusulkan begitu.

Setelah petani protes dan sampai ketelinga Presiden, Kementerian Pertanian kemudian merevisi Permentan itu. Syarat bebas gambut pun hilang. Beres persoalan? Tunggu dulu.

Akhir tahun lalu, Kementerian Pertanahan pula yang bikin masalah. Adalah Surat Edaran bernomor 396/SE.300.UK/X/2022 tentang Permohonan dukungan fasilitasi dalam rangka program PSR.

"Judul Perihal Surat Edaran itu nampak manis; dukungan. Tapi kalau kemudian kita baca surat itu, yang ada justru memperumit. Soalnya petani diwajibkan terdaftar dulu di sistem ATR/BPN untuk mendapatkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT). Kalau sudah terdaftar, baru rekomendasi diterbitkan Kementerian ATR BPN," katanya.

Tapi itu tadi, administrasi permohonan ini dipastikan memakan waktu lama, biaya juga akan muncul lantaran harus mengambil koordinat lokasi kebun lagi.

"Mestinya persyaratan SKPT ini dipisah dari persyaratan PSR, ini bisa disusul kemudian, yang penting lahan petani tidak tumpang tindih dengan HGU atau perizinan lainnya yang pernah diterbitkan ATR BPN," Gulat memberi solusi.

Berikutnya klaim kawasan hutan. Kalau KLHK konsisten seperti kata Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2021, teramat mudah segera membebaskan kebun petani yang diklaim dalam kawasan hutan itu.

Soalnya di salah satu pasal PP itu dibilang bahwa lahan maksimal lima hektar yang sudah dikelola oleh masyarakat minimal lima tahun, otomatis bebas.

"PSR itu kan pada umumnya pada tanaman yang sudah berumur di atas 20 tahun dan maksimal 4 hektar per KTP, jadi sesungguhnya paduserasi dengan PP itu akan membuat masalah clear. Tapi ini enggak dilakukan," ujarnya.

Yang membikin petani semakin sakit kepala, yang kebetulan bisa ikut PSR malah dihantui oleh semakin gencarnya Aparat Penegak Hukum (APH) memeriksa.

Walau sudah clear --- tak ada penyimpangan --- kata Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan konsultan yang ditunjuk oleh BPDPKS, mereka terkesan enggak perduli. Tetap saja petani diperiksai lagi.

"Dari 22 provinsi APKASINDO, di beberapa provinsi kami sudah berkordinasi dengan baik dengan APH. Kami menjelaskan maksud dan tujuan program strategis nasional Pak Jokowi itu. Kami juga menjelaskan bahwa dana PSR itu enggak dari APBN, tapi dari dana sawit untuk sawit yang dipungut, dikelola dan disalurkan oleh BPDPKS. Alhamdulillah mereka paham," cerita Gulat.

Soal APH ini, ada kejadian memprihatikan, ada salah satu koperasi peserta PSR telah di-BAP oleh APH sejak dua tahun dan sampai sekarang tidak berkesudahan. Kejadiannya di Aceh.

"Ini kan membikin kita miris. Kalau petani itu memang salah, segera jadikan tersangka, jangan digantung-gantung sampai dua tahun. Tapi kalau tak ditemukan pelanggaran yang cukup berarti, sebaiknya di clearkan. Kalau cari-cari kesalahan, pasti akan ada lantaran kami petani sawit punya keterbatasan. Tapi kalau cukup tidak berarti temuan itu, sebaiknya dicarikan lah solusinya. Sebab PSR ini bersifat affirmative action," pinta Gulat.

Gulat tak menampik, akibat pemeriksaan tadi, sangat berdampak pada mental petani, karena petani tidak terbiasa dengan BAP. Akibatnya Ribuan hektar rencana usulan baru PSR koperasi tadi bubar lantaran petani ketakutan.

"Ini kan sangat mengganggu kinerja serapan target PSR secara nasional. Tadinya mereka semangat ikut program Pak Jokowi itu, tapi kemudian nyalinya ciut oleh APH tadi," ujarnya.

Nah, sederet persoalan tadi kata Gulat, kalau semuanya clear, tahun ini dipastikan PSR akan moncer, tapi kalau tidak, sawit berkelanjutan cuma menjadi mimpi buruk.


Abdul Aziz

846