Home Sumbagteng Cerita 'Lapar Tanah' Dari Utara

Cerita 'Lapar Tanah' Dari Utara

Pekanbaru, Gatra.com - Data lahan kritis seluas 14 juta hektar yang tersebar di semua provinsi yang ada di Indonesia itu sebenarnya sudah lama menyebar. Minimal di konten-konten dunia maya.

Maklum, data yang diteken langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya pada 15 Juli 2018 itu dirilis di tahun itu juga.

Walau sudah lama, Gus Dalhari Harahap justru masih tak habis pikir dengan data itu. Apalagi, dari luasan 14 juta hektar tadi, di kampung di Sumatera Utara (Sumut) yang malah paling banyak; lebih dari 1,3 juta hektar. Kalimantan Barat mengekor di urutan kedua; lebih dari 1 juta hektar.

"Coba kita tengok kabupaten di sekitar kita. Berapa persen lahan milik petani dan berapa persen pula lahan milik kehutanan dan perkebunan besar. Terus, berapa jumlah penduduk di kabupaten itu dan berapa pula rationya terhadap lahan pertanian yg menjadi tumpuan mereka untuk hidup," kata Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) ini.

Setelah menengok angka itu dan ketemu kata lelaki 52 tahun ini, coba cek dan amati kontribusi kehutanan dan perkebunan besar terhadap kemakmuran masyarakat di sekitarnya.

"Luas lahan yang dikuasai perkebunan besar dan kehutanan di kabupaten, bisa lebih dari 50 persen dari lahan yang ada di kawasan itu. Ada fenomena lapar tanah. Tapi sayang, penguasaan oleh perkebunan besar dan kehutanan itu justru tidak memberikan kontribusi terhadap kemakmuran masyarakat setempat" ujar Ketua DPW Apkasindo Sumut ini. 

Di sisi lain, lantaran si lapar tanah tadi, masyarakat tidak punya akses ke tanah, kalaupun ada, hanya cukup untuk bertani ala kadar.

"Yang kemudian paling menyakitkan itu, si lapar tanah tadi malah banyak menelantarkan tanah. Inilah yang menjadi cikal bakal banyaknya lahan kritis itu. Tapi begitu masyarakat ingin mengusahainya, mereka malah dibilang perambah hutan," rutuknya.

Dua guru besar IPB University, Sudarsono Soedomo dan Budi Mulyanto malah mempertanyakan data yang 14 juta hektar itu.

Apalagi setelah enam bulan usai SK lahan kritis itu diteken Siti Nurbaya, Direktur Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (PDASHL) dalam siaran persnya di laman ppid.menlhk.go.id mengatakan bahwa luas lahan kritis itu sudah jauh berkurang ketimbang tahun 2014 yang mencapai 27,2 juta hektar. Tahun 2009 malah masih 30,1 juta hektar.

"Data itu ada petanya atau enggak? Kalau enggak ada petanya, data itu bisa digolongkan sebagai hoax. Tapi kalau ada petanya, berapa lahan itu yang masuk kawasan hutan dan berapa yang Areal Peruntukan Lain (APL)," Budi bertanya.

Nah, kalau kemudian dari 2014 luas lahan kritis itu berkurang hampir setelah di 2018, apa kegiatannya? Kalau ada peta (citra satelitnya), tentu bisa dimonitor.

"Mereka mengclaim itu dasarnya apa. Kalau dasarnya program penghijauan (reforestasi, reboisasi) apa kenyataan di lapangan bisa jadi hutan dalam 4 tahun? Apa laju deforestasi enggak dihitung?" lagi-lagi Budi bertanya.

"Hehehe...saya sudah pernah mencermati data itu. Data luas lahan kritis beberapa tahun dan luas rehabilitasi lahan. Penurunan luas lahan kritis jauh lebih tinggi dari luas rehabilitasi lahan. Artinya, sebagian lahan kritis pulih tanpa harus direhabilitasi, atau ngibul," kata Sudarsono pula.

Budi kemudian mengaitkan soal lahan kritis tadi dengan kondisi eksisting kebun kelapa sawit yang yang mencapai 16,38 juta hektar (data Kementan).

"Luasan ini kan sangat kecil ketimbang 126 juta hektar kawasan hutan yang ada, cuma 9 persen dari luas daratan Indonesia yang mencapai 190 juta hektar. Lalu, ada 3,4 juta hektar (2,7 persen dari total luas kawasan hutan) kebun sawit itu yang diklaim dalam kawasan hutan. Kalau kemudian semua lahan kritis tadi berada di kawasan hutan, luasnya mencapai 11,1 persen lho," Budi merinci.

Lantaran luas kebun sawit yang diklaim dalam kawasan hutan itu sangat kecil, Budi meminta agar itu dilepas saja.

"Akan lebih banyak manfaat ketimbang mudoratnya. Kalau pakai jangka benah belum tentu KLHK bisa mengelola lahan bekas sawit itu menjadi lahan produktif. Kalau kemudian salah urus, yang ada akan menjadi lahan sengketa yang membuahkan malapetaka," katanya.

Sudarsono sepaham dengan Budi. "Kemampuan pemerintah merehabilitasi lahan sangat rendah dan bahkan enggak pernah jadi. Menggusur 3,4 juta hektar sawit yang diklaim dalam kawasan hutan hanya akan menambah lahan kritis dan kemiskinan," ujarnya.


Abdul Aziz

123