Home Info Sawit Sudah B35, PTPN Pemilik Pertama Pabrik Biodiesel itu Kemana?

Sudah B35, PTPN Pemilik Pertama Pabrik Biodiesel itu Kemana?

Jakarta, Gatra.com - Besok, lebih dari 100 undangan akan berkumpul di Graha Sawala, Gedung Ali Wardhana Kemenko Perekonomian di kawasan jalan Lapangan Banteng, Jakarta.

Tujuannya nonton video dan ngobrol bareng soal implementasi Biodiesel Bauran 35 (B35) yang bakal diberlakukan keesokan harinya. Dengan berlakunya B35 ini, maka minyak sawit yang dibutuhkan dalam setahun untuk ini, mencapai 13,15 kilo liter.

Tapi sayang, dari semua pejabat lintas kementerian dan bos-bos perusahaan yang diundang oleh Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Perekonomian itu, tak satupun bos PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) ada di daftar undangan itu.

Wajar memang jika bos PTPN tak diundang ke sana, sebab perusahaan plat merah itu tidak ikut campur urusan biodiesel.

Tapi justru inilah yang sangat disayangkan. Mulai dari B5 hingga sebentar lagi B35, PTPN sama sekali tidak pernah terlibat dan dilibatkan.

Padahal, pabrik biodiesel pertama di Indonesia itu justru milik PTPN. Pabrik bernama Sigma 87 yang berada di belakang Pabrik Minyak Nabati (Pamina) milik PTPN IV itu sekarang sudah jadi 'bangkai' di kawasan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara (Sumut).

Tak hanya pabrik biodiesel dan minyak goreng, PTPN juga sudah punya tanki timbun di mana-mana. Di Papua ada Instalasi Tanki Minyak Jayapura (ITMJ). Di Manokwari ada ITMM.

Lalu, di seluruh Kalimantan ada tanki timbun yang salah satunya Tanki Timbun Tanah Merah. Di Sulawesi ada Tanki Timbun Palopo, di Dumai (Riau) ada SSUD dan di Belawan ada DTI.

"Mestinya mandatory biodiesel ini menjadi momentum bagi PTPN untuk berperan. Pemerintah kemudian memfasilitasi itu. Lantaran biodiesel itu kebutuhan lokal, serahkan itu kepada PTPN. PTPN kemudian menggandeng sawit rakyat untuk memenuhi kebutuhan biodesel itu. Sementara untuk urusan ekspor, biar saja swasta," kata Ketua Harian DPP Apkasindo, Gus Dalhari Harahap, saat berbincang dengan Gatra.com tadi siang.

Hadirnya PTPN untuk menggarap kebutuhan lokal, termasuk minyak goreng itu kata lelaki 52 tahun ini justru untuk membendung upaya pihak luar merecoki minyak sawit Indonesia.

"Pihak luar inikan bahasanya selalu ketertelusuran minyak sawit itu. Ini biar saja urusan swasta. Dengan modal sertifikasi yang dia punya, ini akan bisa menjawab apa yang dipersoalkan oleh pihak luar itu. Kalau kita pakai di dalam negeri kan enggak ada istilah ketertelusuran. Wong kita pakai sendiri kok," ujarnya.

Dan dengan PTPN kata Gus, justru akan lebih gampang mengamankan aset dan pembagian deviden untuk masyarakat. Sebab buku BUMN itu cuma satu.

"Kalau swasta kan bukunya ada tiga; buku toke, buku perusahaan dan buku pajak. Kuncinya ada di pemerintah saja. Sebesar apa dukungan dan perlindungan pemerintah kepada PTPN," kata Ketua DPW Apkasindo Sumatera Utara ini.

Intinya kata Gus, sudah saatnya industri minyak sawit ini ditata. Caranya, pertama, bikin pendataan. Buat Data Base. Dari sini kemudian di-mapping, siapa yang bermain di hulu, siapa yang bermain di semi hilir dan siapa yang bermain di hilir.

"Sekarang kan enggak, semua bisa dikuasai swasta. Malah ada yang punya semua. Mulai dari kebun, PKS, refinery, hingga tanki timbun. Batasi dong. Kalau pemainnya dilepas bermain begitu saja, dia akan hanibal. Maka akan ada stigma; now iam the bos. If not. Ini stigma yang ada sekarang," ujar Gus.

Tapi coba kalau perusahaan-perusahaan itu diikat dengan regulasi, mapping dia. "Hei, kamu jadi ini ya, kapan dibutuhkan kamu jadi ini. Kapan disuruh ini, kamu jalankan. Ngatur-ngatur yang semacam ini kan hanya negara yang bisa. Ini kewibawaan negara," ujarnya.

Soal PTPN tadi, mantan Deputi Menteri Negara BUMN, Prof. Agus Pakpahan sepaham dengan Gus. Secara kemampuan kata Agus, PTPN sangat mumpuni. Sangat bisa. Kemampuan SDM, teknis, semua ada. Itulah makanya dia bilang, untuk mengurusi biodiesel ini sebenarnya gampang saja.

"Gabung saja Biofuel dengan Fosil Fuel. Biofuel ada di PTPN, Fosil Fuel ada di Pertamina yang distribusinya sudah kemana-mana. Nah, bikin saja anak perusahaan. Kalau bikin perusahaan lama, bikin kontrak jangka panjang. Kalau ini jalan, efek sosialnya akan kemana-mana" mantan Dirjenbun ini memberi solusi.

Tapi persoalannya itu tadi lah. PTPN enggak akan mau inisiatif. Penyebabnya sederhana. PTPN itu bukan provit motive, tapi security chair. Beda dengan swasta yang dengan segala cara akan memaksimalkan provitnya. Ini bisa dibuktikan secara empiris.

"Jadi, kalau mengharapkan PTPN mengambil prakarsa, hampir enggak akan pernah ada. Bukti empirisnya, dari dulu sampai sekarang enggak ada perubahan. Apakah sudah jadi holding atau non holding, sama saja," katanya.

Dengan holding malah lebih susah. Sebab direksi holding birokrat juga. Sudahlah BUMN nya birokrat, holdingnya birokrat, anak perusahaannya juga birokrat. "Jadinya birokratis," Agus mengurai.

"Semangat bisnis itu didorong provit. Itu adanya di swasta, bukan di BUMN kita. Itu gampang melihatnya. Tengok saja, dari dulu produk yang dihasilkan enggak berubah," tambahnya.

Nah, kalau kemudian PTPN memang harus jalan, tinggal perintah Presiden saja. Itu baru jalan. Kalau inisiatif, takut enggak cocok dengan keinginan pimpinan yang lebih tinggi. "Kalau enggak cocok, bisa-bisa kursinya melayang," ujar Agus.


Abdul Aziz

1029