Home Kesehatan Konsumsi Protein Hewani di Indonesia Terbilang Masih Rendah, Benarkah?

Konsumsi Protein Hewani di Indonesia Terbilang Masih Rendah, Benarkah?

Jakarta, Gatra.com - Direktur Utama PT Berdikari Harry Warganegara mengatakan bahwa angka konsumsi protein hewani per kapita di Indonesia masih terbilang rendah. Hal itu dapat tergambar pada angka konsumsi ayam dan sapi, serta telur di Tanah Air, apabila dibandingkan dengan angka konsumsi secara regional dan global.

"Boleh dibilang, konsumsi per kapita untuk protein hewani kita itu sangat rendah Indonesia ini, dibandingkan dengan negara-negara yang ada. Bahkan, masih banyak masyarakat Indonesia yang [mengalami] stunting," ujar Harry Warganegara, dalam forum Gatra Bicara bertajuk Peningkatan Gizi Untuk Ketahanan Tubuh Agar Siap Menghadapi Tantangan ke Depan, Rabu (1/2).

Adapun, sebelumnya, dalam sesi forum diskusi yang sama, Ketua Tim Kerja Balita Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Nida Rohmawati mengatakan, angka stunting di Indonesia telah menurun hingga mencapai 4.558.899 pada tahun 2022, setelah sebelumnya bertengger di angka 5.253.404 pada 2021.

Namun, angka stunting pada balita berusia 12-23 bulan justru tercatat mengalami kenaikan. Hal itu pun terjadi karena balita yang mulai menerima pemberian makanan pendamping ASI tidak memperoleh asupan gizi yang cukup, terutama dari protein hewani. Adapun, protein hewani yang mengandung asam amino esensial disebut dapat memacu kecukupan gizi untuk pertumbuhan anak.

Harry Warganegara pun mengatakan bahwa dalam konteks global, wilayah Asia Pasifik, yang Indonesia tercakup di dalamnya, cenderung memiliki angka konsumsi daging sapi dan ayam yang lebih rendah dibanding sejumlah wilayah lainnya.

"Konsumsi daging sapi dan ayam secara global. Jadi, boleh dilihat, kita yang di Asia Pasifik, masih lebih rendah [konsumsinya] dari Amerika, Eropa, bahkan Latin America. Sangat rendah. Jadi, Asia Pasifik [menempati posisi] dua terendah," ujar Harry.

Adapun, hal itu Harry ucapkan berdasarkan data OECD-FAO Agricultural Outlook 2022-2031. Dalam data tersebut, angka konsumsi daging di Asia Pasifik hanya berada satu peringkat di atas angka konsumsi di Afrika.

Sementara itu, terkhusus di Indonesia, Harry mengatakan bahwa konsumsi daging sapi di Tanah Air sebenarnya sudah tergolong banyak. Bahkan, jumlah konsumsi per tahunnya tak kurang dari 700 ribu ton.

"Hanya saja, dari 700 ribu ton, itu 400 ribu ton disuplai dari populasi nasional, 300 ribu tonnya disuplai dari impor daging beku. Padahal, di 400 ribu (ton) yang populasi nasional itu, ya boleh dibilang 500 ribu ekor itu adalah imporisasi dari sapi Australia, which is kalau sudah diimpor, digemukkan di sini, disebut sapi nasional," ucapnya.

Dengan demikian, kata Harry, meski masyarakat Indonesia dapat disebut sebagai pemakan daging sapi, namun angka konsumsi akan daging sapi masih tergolong rendah dibanding negara lainnya. Bahkan, persentase impor Indonesia atas suplai daging sapi pun cenderung masih besar.

"Kita ini negara pemakan daging sapi, tapi masih impor 60 persen, dan kalau dibandingkan dengan dunia, konsumsi tersebut masih tergolong rendah," ujar Harry.

Adapun, berdasarkan data OECD-FAO Agricultural Outlook 2022-2031, angka konsumsi daging sapi di Indonesia pada periode 2019-2021 berada pada angka 777.000 ton, dan diprediksi akan naik hingga mencapai angka 936.000 ton pada 2031 mendatang. Sementara itu, angka konsumsi unggas pada periode 2019-2021 berada pada angka 3.895.000 ton, dan diprediksi akan bertambah menjadi 4.929.000 ton pada 2031 nanti.

Sementara itu, berbeda dengan angka konsumsi dagingnya, angka konsumsi protein hewani berupa telur ayam di Asia Pasifik cenderung tidak terlalu rendah. Bahkan, peningkatan pertumbuhan konsumsi telur tertinggi pada tahun 2031 diprediksi akan terjadi di wilayah Asia, yakni sebesar 11,76 persen, dari 11,9 kg/kapita menjadi 13,3 kg/kapita.

Peningkatan itu diprediksi juga terjadi di Indonesia, dengan angka konsumsi yang mencapai 7.766.000 ton pada 2031, setelah sebelumnya berada pada angka 5.292.000 ton pada 2019-2021.

"Proyeksi konsumsi telur ayam di Indonesia. Memang kita lihat 2031 akan naik, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat. Nah, ini meningkat," ujar Harry Warganegara, dalam kesempatan tersebut.

1610