Home Ekonomi Presiden Dinilai Kurang Tegas, YLKI Usul Orang Miskin Penerima Bansos Kesehatan Dilarang Merokok

Presiden Dinilai Kurang Tegas, YLKI Usul Orang Miskin Penerima Bansos Kesehatan Dilarang Merokok

Jakarta, Gatra.com - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai pernyataan Presiden Joko Widodo ihwal wacana pelarangan penjualan rokok batangan kurang tegas. Musababnya, dalam pernyataannya, Presiden hanya menyebut larangan tersebut dilakukan demi kesehatan masyarakat.

"Seharusnya presiden bisa menukik kepada kata-kata yang konkret terkait dampak buruk penjualan rokok secara ekonomi dan kesehatan yang sudah gamblang di depan mata," ujar Tulus dalam konferensi pers yang digelar Komite Nasional Pengendalian Tembakau, secara virtual, Jumat (3/1).

Tulus menyebut seharusnya presiden lebih tegas untuk melarang masyarakat miskin merokok. Pasalnya, selama ini rokok menjadi sarana utama yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin. Bahkan banyak survey menunjukkan bahwa konsumsi rokok rumah tangga miskin menjadi yang terbesar kedua setelah konsumsi beras. Artinya, pengeluaran untuk kebutuhan makanan bergizi seperti protein masih lebih rendah dibandingkan pengeluaran untuk membeli rokok secara ketengan.

Karena itu, YLKI, kata tulus memandang bahwa larangan penjualan rokok ketengan secara ideologis pragmatis adalah untuk melindungi masyarakat miskin agar tidak makin terjerembab dalam kemiskinan.

"Nah seharusnya presiden mengatakan larangan penjualan rokok ketengan ini sebagai cara mengentaskan kemiskinan," tutur Tulus.

Tulus pun mengusulkan, bilamana pemerintah bisa jauh lebih tegas, masyarakat miskin penerima bantuan sosial penerima bantuan iuran  jaminan kesehatan  (PBI JK) atau dibebaskan dari iuran premi kesehatan seharusnya dilarang merokok. Jika ketahuan merokok, pemerintah bisa melakukan peninjauan ulang terhadap kepesertaan PBI masyarakat miskin tersebut.

Pasalnya, kata Tulus hal yang kerap dijumpai di lapangan sungguh miris. Masyarakat miskin yang menjadi peserta PBI meminta keringan dalam mengakses layanan kesehatan justru menghabiskan uang lebih banyak setiap bulannya untuk membeli rokok. Hal itu dinilai menjadi kontradiktif.

"Kalau sebungkus saja Rp20 ribu, berarti anggap dalam satu bulan tidak kurang dari Rp600 ribu untuk rokok. Sebenarnya itu (nominal) jauh lebih tinggi dari subsidi yang diberikan untuk kesehatan," imbuhnya.

68