Home Politik Silaturahmi Elite Politik Dinilai Ciptakan Iklim Kompetisi Pemilu yang Sehat, Masa Sih?

Silaturahmi Elite Politik Dinilai Ciptakan Iklim Kompetisi Pemilu yang Sehat, Masa Sih?

Jakarta, Gatra.com - Pertemuan elite Partai Golkar dan PKS untuk untuk menegaskan komitmen parpol dalam mengawal pemilu tepat waktu pada tanggal 14 Februari 2024, dengan asas LUBER. (Langsung Umum Bebas dan Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil). Apalagi, kedua partai tersebut juga secara lugas mengatakan tak menyinggung soal calon presiden dalam perjumpaan itu.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Perludem, Chairunnisa mengatakan, mengenai pemilu, memang Golkar berinisiasi bersama tujuh partai menolak sistem pemilihan tertutup. “Setiap partai memang memiliki preferensinya soal sistem pemilu yang akan dipilih tentu akan menguntungkan mereka,” kata Chairunissa dalam keterangannya, Rabu (8/2).

Kemudian mengenai sikap parpol mendukung pemilu tepat waktu, Chairunnisa mengatakan semua memang sudah sesuai jalur meski ada catatan. “Kalau melihat sampai saat ini tahapan pemilu memang masih on the track walaupun ada beberapa catatan. Misalnya soal polemik verifikasi faktual parpol, lalu soal penetapan daerah pemilihan pasca putusan MK,” kata Chairunissa.

Menjelang pemilu, sejumlah elit parpol saling berkunjung, mengutarakan komitmen mereka untuk menjaga pemilu yang luber, jurdil dan tidak terpolarisasi. Bicara polarisasi, Chairunissa mengatakan perlu lebih dari sekedar konsolidasi elit partai.

Sementara itu, Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan menyebut pertemuan Golkar dan PKS tersebut mempunyai dua sisi. Pertama, pertemuan itu bisa bermanfaat ketika dimaknai sebagai pesan positif dari elite partai politik (parpol) untuk publik.

"Tentu publik melihat elite, sehingga ketika elite-elite politik ini terlihat bisa saling berkomunikasi satu dengan yang lain, cair, termasuk punya komitmen berkompetisi secara sehat, baik dalam pemilu," ungkap Firman.

Menurut Firman, pertemuan semacam itu bisa mengurangi potensi risiko polarisasi ekstrem yang bisa menimpa publik usai kompetisi sebagaimana sempat terjadi beberapa saat lalu. Elite dan publik patut memahami bahwa pemilu adalah agenda demokrasi yang tidak perlu berujung pada polarisasi. Sebaliknya, berdemokrasi harus dengan gembira.

"Saya pikir itu sebuah pesan yang baik pada publik bahwa kalau pun terjadi kompetisi di antara parpol itu suatu agenda demokrasi yang biasa saja. Tidak perlu berujung pada konflik, polarisasi," tandasnya.

Kendati demikian, ada pula potensi kerugian dari pertemuan elite parpol yang kerap terjadi belakangan. Publik berpotensi tidak akan punya cukup waktu untuk menimbang dan menentukan pilihan atas capres untuk dipilih di Pemilu 2024.

"Dalam konteks kebutuhan informasi bagi pemilih, semakin lama warga tahu siapa yang akan menjadi capres cawapres koalisi yang terbentuk, itu agak merugikan. Karena waktunya menjadi sempit," tuturnya.

Dengan cairnya komunikasi elite parpol, Firman menilai publik akan berisiko tidak segera mendapat kepastian terkait sosok yang maju di Pilpres 2024, sehingga akan berdampak pada ketidakcukupan informasi. Padahal keteraksesan dan kecukupan informasi menjadi faktor penting dalam pemilu yang berlandaskan rasionalitas.

"Sehingga tidak cukup waktu bagi warga untuk betul-betul mendapatkan informasi yang cukup tentang pasangan capres cawapres, tentang koalisi, bagaimana platform, visi-misi programnya dan sebagainya," pungkasnya.

Sebelumnya, PKS menyambangi markas Partai Golkar untuk melakukan konsolidasi kebangsaan. Keduanya tak bicara banyak soal calon presiden, namun menegaskan soal Pemilu harus sesuai jadwal dan masih memerlukan sistem proporsional terbuka.

“Jangan lagi kita mempersoalkan agenda, sekarang pemilu sudah running on going. Kita sama-sama punya kewajiban untuk menjaga pemilu ini menjadi pemilu yang sukses. Sukses itu adalah memenuhi jurdil dan luber,” tegas Wakil Ketua (Waketum) Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, beberapa hari lalu.

Bahkan, kedua partai sepakat mendukung Pemilu 2024 berlangsung dengan sistem proporsional terbuka. “Jadi tadi kami mendiskusikan untuk tetap mendorong supaya dan menyakinkan Mahkamah Konstitusi, hakim-hakimnya juga mendengarkan aspirasi ini kan sudah aspirasi mayoritas di DPR sudah ada delapan partai politik. Saya kira seluruh elemen masyarakat juga termasuk masyarakat sipil yang mendukung,” tutup Doli.

216