Home Kolom Belajar dari Helm Lanjutkan Masker

Belajar dari Helm Lanjutkan Masker

Belajar dari Helm Lanjutkan Masker
Oleh: 
Budi Setiadi Daryono*


Akhir tahun 2022 merupakan sebuah lembaran baru dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yaitu dicabutnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 50 dan 51 Tahun 2022 tertanggal 30 Desember 2022. Pencabutan tersebut berdasarkan kebijakan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo meningat situasi pandemi di tanah air telah berada di bawah standar WHO berdasarkan kasus harian, positivity rate, bed occupancy rate (BOR) atau tingkat perawatan rumah sakit, dan angka kematian.

Sebagai salah satu dari 4 negara G-20 yang dalam 10 bulan berturut-turut tidak mengalami gelombang pandemi, seluruh kabupaten/kota di Indonesia saat ini telah berstatus PPKM level 1 dengan pembatasan kerumunan dan pergerakan orang di tingkat rendah. Puncak pandemi terakhir di Indonesia yaitu puncak tren varian Omicron dengan 64.000 kasus harian pada bulan Februari 2022.

Saat ini, pencabutan PPKM telah dapat dilakukan dengan tingginya cakupan imunitas penduduk dan tingkat vaksinasi Covid-19. Kendati telah dilakukan pencabutan PPKM, masyarakat tetap dihimbau untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan menghadapi risiko Covid-19. Penggunaan masker di keramaian dan ruang tertutup, penggalakan vaksinasi untuk meningkatkan imunitas, serta berbagai langkah pencegahan penularan, pengenalan gejala, serta penyediaan sarana pengobatan harus tetap dipertahankan selama masa transisi.

Sejarah Pembuatan Masker

Masker memiliki sejarah panjang hingga akhirnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya melindungi kesehatan. Sejarah mencatat masker mulai digunakan masyarakat di dunia ketika menghadapi wabah. Masker mengalami berbagai perkembangan dari zaman ke zaman mulai dari bahan hingga model.

Pemakaian masker berawal dari sejarah penemuan masker dunia pada abad ke-6 SM penemuan beberapa gambar orang memakai kain untuk menutupi mulut mereka yang ditemukan di pintu masuk makam Persia. Hal ini didukung dengan catatan The Travelers of Marco Polo yang merupakan buku perjalanan orang Italia pada abad ke-13 menyatakan bahwa pada masa Dinasti Yuan China (1279-1368) masker dibuat dari sutra dan benang emas. Masker tersebut dikenakan oleh pelayan untuk melayani kaisar saat menyajikan makanan agar terlindungi dari bau nafas pada makanan kaisar.

Masker terus berkembang hingga pada abad ke-14 SM terjadi wabah Black Death di Eropa. Dokter asal Perancis, Charles de Lorme menemukan masker berbentuk paruh burung dengan ujung paruh berisi parfum, obat-obatan, rempah, daun mint, dan kamper untuk menyaring penyakit. Pada tahun 1827 seorang ilmuwan asal Skotlandia Robert Brown menemukan “Gerakan Brownian” yang secara teoritis hukum ini membuktikan mengenai efek perlindungan masker terhadap debu.

Selanjutnya pada tahun 1848, masker buatan Amerika, Lewis Hassley yang diperuntukkan bagi penambang menjadi masker pertama yang dipatenkan sebagai masker pelindung. Perusahaan masker dari Minnesota and Manufacturing Co. telah memproduksi masker sejak 1967. Mengutip dari House Beautifull, prototipe masker modern pertama berasal dari ide Sara Little Turnbull yang menggunakan pencetak cup bra sebagai pencetak maskernnya, Kemudian Minnesota and Manufacturing Co. berkolaborasi dengan perusahaan Sara dan membuat masker medis ringan secara masal.

Adapun pada akhir Dinasti Qing (1644-1911), seorang ilmuwan medis Cina, Wu Liande menemukan masker yang terbuat dari 2 lapis kain kasa yang disebut “masker Wu” sebagai respon terhadap adanya wabah penyakit di Cina Timur Laut. Pada Tahun 1918, saat wabah Flu Spanyol melanda Amerika Serikat, masker Wu sangat populer di kalangan ilmuan dan masyarakat. Saat muncul kabut asap dari industri modern, bahan dalam masker juga terus berkembang, termasuk saat pandemi SARS tahun 2003 dan kabut asap tahun 2012.

Seiring berjalannya waktu, muncullah masker N95 yang merupakan pengembangan dari desain masker Wu. Meskipun demikian, masker N95 jarang digunakan di rumah sakit hingga wabah Covid 19 merebak. Saat pandemi Covid-19, kebutuhan masker menjadi peluang usaha, terbukti dengan banyaknya permintaan produk kesehatan, khususnya masker.

Budaya Pemakai Masker dan Helm

Budaya pemakaian masker dan penerapan protokol kesehatan yang memadai, sebaiknya terus dilakukan hingga menjadi budaya di masyarakat kita, terutama bagi masyarakat yang sedang mengalami gangguan pernafasan seperti flu, gangguan paru-paru, atau TBC. Hal ini dikarenakan besarnya kontribusi pemakaian masker sebagai upaya perlindungan kesehatan komunitas masyarakat serta pencegahan penularan penyakit terkait lainnya. Pemakaian masker ketika sakit sudah selayaknya menjadi umum sebagaimana pemakaian helm sebagai pelindung saat berkendara.

Helm merupakan perlengkapan keselamatan yang penting dan wajib digunakan bagi pengendara kendaraan roda dua sebagai pelindung kepala guna mengurangi dampak benturan serta gangguan lain seperti debu, sisa puing-puing, hujan, atau serangga saat sedang berkendara.

Sejarah dan Pemakaian Helm

Budaya pakai helm pertama kali di dunia berawal dari penemuan fisikawan Inggris, Eric Gardner yang mengkritisi dan mengkaji mengenai banyaknya kasus kecelakaan yang menyebabkan cedera serius pada kepala dan cara mencegahnya. Gardner menciptakan helm pertama kali yang kemudian mengilhami balapan “TT Isle of Man 1914” untuk mewajibkan pembalap menggunakan helm. Budaya pakai helm semakin dikenalkan di kalangan masyarakat dunia dari peristiwa kecelakaan yang dialami T.E Lawrence yang berasal dari Inggris pada tahun 1935. T.E. Lawrence mengalami kecelakaan saat menghindar dari anak-anak dan terpental jauh dari kendaraannya, sehingga Lawrence mengalami cedera kepala yang serius dan meninggal dunia.

Huge Crains merupakan dokter ahli saraf yang menangani Lawrence, mengkritisi peristiwa tersebut dan melakukan penelitian mengenai cedera kepala akibat kecelakaan dan upaya untuk mecegahnya. Enam tahun setelahnya, Huge Crains menemukan ide mengenai konsep pelindung kepala pada tulisannya yang berjudul “Head Injuries in Motorcycle” dan memdesain helm berbahan karet dan gabus.

Pada tahun 1953 profesor asal Carolina Selatan, C. F. Lombard mengembangkannya dengan cangkang berbahan keras di bagian dalam helm. Peraturan menggunakan helm di dunia secara hukum, pertama kalinya berlaku di Australia sejak 1961. Kemudian pada tahun 1964, pengujian standar kemanan helm pertama kali dilakukan oleh USDOT untuk memastikan kelayakan helm sebelum beredar di pasaran.

Penggunaan helm pertama kali di Indonesia digalakkan atas ide Kapolri Jendral (Purn) Hagoeng Imam Santoso pada tahun 1970 sekembalinya bertugas bersama Presiden Soeharto berkunjung ke berbagai negara Eropa. Kapolri Hoegeng Imam terkesan melihat budaya dan ketertiban berlalu lintas di negara-negara tersebut, khususnya setelah melihat pengendara motor yang selalu menggunakan helm, sehingga memberikan ide untuk menerapkan penggunaan helm di Indonesia.

Kewajiban penggunaan helm bagi pengendara kendaraan roda dua di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 pasal 23 yang mewajibkan pengendara sepeda motor dan penumpang sepeda motor serta kendaraan lain yang tidak memakai rumah-rumah untuk memakai helm. Kemudian, diperjelas kriteria tertentu helm yang wajib digunakan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 57 bahwa perlengkapan kendaraan bermotor bagi sepeda motor adalah helm Standar Nasional Indonesia.

Hingga saat ini, helm telah terbukti efektif dalam meminimalisasi dampak kecelakaan bagi pengendara sepeda motor. Pada tahun 2022, Malelak dkk. melaporkan bahwa penggunaan helm saat berkendaraan merupakan upaya yang efektif dengan memberikan 63% hingga 88% pengurangan risiko kepala, otak, dan cedera otak parah untuk semua usia pengendara sepeda motor.

Belajar dari Budaya Pemakaian Helm

Belajar dari penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor, pemakaian masker dalam mencegah penularan penyakit di masyarakat merupakan cikal bakal budaya yang baik dalam peningkatan perlindungan kesehatan komunitas. Menilik perjalanan pandemi di Indonesia, gelombang pertama kasus Covid-19 terjadi pada Januari-Februari 2020 dengan kasus harian tertinggi pada 30 Januari 2020 mencapai 14.528 kasus.

Varian Delta merupakan gelombang kedua kasus Covid-19 yang menyusul pada Juni-Juli 2021 dengan kasus tertinggi harian pada 15 Juli 2021 mencapai 56.757 kasus. Selanjutnya, varian Omicron membawa gelombang ketiga dengan kasus harian tertingi pada 17 Februari 2022 dengan penambahan sebanyak 63.956 kasus.

Terus meningkatnya imunitas penduduk turut melandasi meredanya gelombang Covid-19 hingga puncaknya pada pencabutan PPKM pada akhir tahun 2022. Berdasarkan Sero Survey, cakupan imunitas penduduk Indonesia pada Desember 2021 adalah 87,8% sementara pada Juli 2022 mencapai 98,5% yang merupakan angka sangat tinggi. Capaian ini tidak mungkin diperoleh tanpa penggalakan penggunaan masker dan penerapan protokol kesehatan yang membudaya di masyarakat.

Budaya kebiasaan memakai helm di Indonesia dapat memberikan insight untuk masyarakat yang berada di masa transisi setelah dicabutnya PPKM. Pemakaian helm bertujuan untuk mencegah dan melindungi kepala sebagai upaya antisipasi jika terjadi kecelakaan saat berkendara. Hal tersebut sama halnya dengan budaya pemakaian masker, walaupun aturan PPKM sudah dicabut budaya memakai masker sudah seharusnya disadari dan diwajibkan untuk populasi rentan seperti lansia, memiliki penyakit komorbid, ibu hamil, dan anak yang belum divaksin. Selain itu penggunaan masker dapat berguna untuk mencegah berbagai penularan penyakit bagi mereka yang bergejala seperti batuk, pilek, dan demam.

Harapan ke depan

Kesadaran memakai masker tersebut merupakan suatu upaya untuk tetap waspada dan melindungi diri sendiri dari berbagai penyakit. Perubahan pola budaya pakai masker di masyarakat Indonesia dapat dilakukan secara bertahap dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai urgensi penggunaan masker sebagai langkah antisipasi di masa setelah dicabutnya PPKM layaknya kita memakai helm saat berkendara. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan memakai masker juga dapat memberikan dampak peningkatan jumlah limbah masker, namun upaya pengolahan limbah masker harus dilakukan dengan benar dimulai dari skala individu hingga nasional.

Belajar dari budaya masker dan helm diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa langkah antisipasi dan preventif sudah selayaknya kita lakukan dimulai dari hal-hal sederhana seperti keluar rumah dengan memakai masker sebagimana menggunakan helm jika berkendara motor. Perubahan kecil yang menjadi kebiasaan dapat memberikan dampak yang besar jika dilakukan dengan konsisten, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang-orang di lingkungan sekitar. Harapannya, kelak budaya ini dapat meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat dalam pencegahan penularan penyakit, percepatan pengobatan dan penyembuhan, serta peningkatan perlindungan kesehatan komunitas.


*Guru Besar dan Dekan Fakultas Biologi UGM serta Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI)