Home Pendidikan Wujudkan Agama untuk Kemanusiaan, Tiga Tokoh Jadi Doktor Honoris Causa di UIN Yogyakarta

Wujudkan Agama untuk Kemanusiaan, Tiga Tokoh Jadi Doktor Honoris Causa di UIN Yogyakarta

Yogyakarta, Gatra.com – Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, memberikan gelar doktor Honoris Causa kepada tiga tokoh agama, Senin (13/2). Tiga tokoh ini dianggap sebagai pemimpin yang berkontribusi nyata di bidang agama dan kemanusiaan.

Gelar HC diberikan pada Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf, Ketua PP Muhammadiyah periode 2005-2010 Sudibyo Markus yang sekarang menjabat Dewan Pakar Majelis Pelayanan Sosial PP Muhammadiyah, dan Prefek Dikasteri untuk Dialog AntarAgama Vatikan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot M.C.C.J.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al Makin, menyebut pihaknya sangat beruntung menerima anugerah berupa kehadiran ketiga tokoh pemimpin agama tersebut.

“Jadi bukan kita yang menganugerahi. Ketiga tokoh yang merupakan tamu kami adalah model pemimpin yang bisa kita harapkan mendamaikan. Pesan penting inilah yang akan kita teruskan, sehingga kita memiliki cara pandang beragama seperti yang sudah dirumuskan oleh berbagai dokumen penting dunia,” katanya.

Ketiga tokoh ini juga dinilai UIN Sunan Kalijaga tidak sekadar aktivis kemanusiaan namun juga pemimpin umat yang tidak perlu diragukan kapabilitasnya. Mereka memperlihatkan aksi nyata dalam mengayomi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan serta semua tindakan dilakukan dengan kelapangan hati.

“Kami, UIN Sunan Kalijaga, mendapatkan pelajaran penting dari ketiga tokoh besar ini tentang pengalaman-pengalaman dan tafsir atas agama mereka yang sangat unik,” ungkapnya.

Sebab, menurut Al Makin, pada dasarnya perubahan cara pandang keagamaan dari ketiga tokoh ini diperlukan oleh semua orang, khususnya di Indonesia.

Penganugerahan ini menurut Makin juga menjadi pembelajaran bagi akademisi tentang pengabdian dan kerendahhatian ketiga sosok ini untuk terus belajar di tengah masyarakat.

“Universitas kembali merefleksikan sesuatu yang bisa kita pelajari dan sebagai masukan kepada akademisi. Sehingga terjadi dialog antara apa yang terjadi di kelas, di universitas, dengan di lapangan dan dunia nyata. Ini pentingnya acara hari ini,” paparnya.

Yahya Cholil Staquf menyatakan penghargaan ini bertepatan dengan momentum ulang tahun satu abad NU.

“Gelar kehormatan untuk kami ini menandai penguatan aliansi kerja sama di antara komunitas-komunitas yang terwakili. Sesudah ini kami bisa melangkah dengan inisiatif-inisiatif lebih nyata bersama-sama menuju apa yang menjadi cita-cita semua agama, yaitu kemuliaan dan martabat manusia,” kata Gus Yahya, sapaan akrabnya.

Yahya menyatakan secara internal, Islam masih membutuhkan alternatif di tengah banyaknya wacana klasik yang sering dipahami sebagai dorongan untuk berkonflik dengan kelompok agama lain.

“Inilah elemen-elemen problematik yang kemudian diperalat menjadi pemicu konflik sepanjang sejarah umat manusia. Kita butuh pengembangan wacana alternatif yang terkait syariah hingga tingkat bahan ajar,” jelasnya.

Adapun Sudibyo Markus menyebut agama di masa lalu sering dijadikan penyebab konflik. Padahal, jika pun ada,  peran agama dalam konflik itu sangat kecil.

“Kita sangat menghargai upaya mengakhiri konflik dengan berbagai instrumen oleh para pemimpin agama dunia,” jelasnya.

Namun ini tidaklah cukup. Markus menyatakan masih banyak forum-forum kerukunan beragama di tingkat lokal hanya mengandalkan basa-basi tanpa pernah mendorong adanya respek antar umat beragama melalui komunikasi.

“Bagi kami, dialog-dialog di tingkat kebijakan itu penuh filosofi dan seperti baling-baling helikopter. Yang penting sekarang ini adalah aksi praktik demi membangun peradaban manusia,” jelasnya.

Sementara Cardinal Miguel mengungkapkan kekagumannya pada Pancasila yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kekaguman saya bukan tanpa alasan. Pancasila telah lama menjadi pedoman hidup dan menyatukan negara kesatuan yang besar,” paparnya.

Menurutnya, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia menjadi berkah yang luar biasa bagi keberagaman negara.

Kehadiran Pancasila menjadikan setiap penganut agama di Indonesia bisa saling menerima perbedaan masing-masing. Bahkan setiap umat saling membuka diri untuk menghormati dan menghargai perbedaan tersebut.

"Saya juga mengagumi Sunan Kalijaga yang menjadi nama kampus. Sunan Kalijaga adalah nasionalis dan pemimpin muslim yang moderat, berhasil menyebarkan Islam di tengah kultur Indonesia,” ujarnya.

109