Home Politik Bukan Negara Khilafah, tapi Fikih Baru Kemaslahatan Umat: Ringkasan Pidato Gus Yahya Raih Doktor Honoris Causa

Bukan Negara Khilafah, tapi Fikih Baru Kemaslahatan Umat: Ringkasan Pidato Gus Yahya Raih Doktor Honoris Causa

Yogyakarta, Gatra.com - Ketimbang memperjuangkan negara khilafah, umat Islam diajak untuk mengembangkan fikih baru demi menciptakan peradaban manusia yang damai, harmonis, dan adil.

Demikian benang merah dari pidato ‘Rekontekstualisasi Ajaran Islam untuk Tatanan Dunia Baru’ dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Yahya Cholil Staquf. Ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (13/2).

Selain Gus Yahya, demikian Ketum PBNU itu akrab disapa, gelar itu juga diberikan pada Dewan Pakar Majelis Pelayanan Sosial PP Muhammadiyah dr. Sudibyo Markus dan Prefek Dikasteri untuk Dialog Antar Agama Vatikan Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot.

Dimulai dengan sejarah konflik dunia, dalam pidatonya Gus Yahya memaparkan tentang komponen tatanan dunia baru, yakni lahirnya batas-batas negara dan hak asasi universal. Tata dunia baru ini ditandai sejumlah perubahan, termasuk relasi agama dengan negara dan warganya.

“Pada masa lalu, hampir setiap negara atau kerajaan menyandang identitas agama. Pada masa kini, sebagian besar negara-negara yang ada telah melepaskan identitas agama dan menggantinya dengan identitas nasional,” paparnya.

Terhadap perubahan ini, agama-agama ternyata masih dalam posisi sesuai peradaban lama yang berkompetisi dan berbenturan dengan kepentingan masyarakat internasional untuk mencegah konflik. Apalagi Islam dibayangi trauma kekalahan militer dan pendudukan wilayah.

“Hal ini melahirkan mindset yang dominan di dunia Islam yang memandang tata dunia baru hasil konsensus internasional paska Perang Dunia kedua sebagai kelanjutan dan peneguhan kemenangan Kristen-Barat atas Islam,” tuturnya.

Situasi ini, kata Gus Yahya, melestarikan kecenderungan resistensi dunia Islam terhadap tata dunia baru tersebut dan dengan sendirinya menghidupi api permusuhan di dalam sekam tata dunia yang masih penuh ketidak sempurnaan.

Di sisi lain, umat Islam memegang syariat sebagai wujud ketaatan pada Tuhan yang melibatkan kategori politik di dalamnya hingga melahirkan ortodoksi syariat. Ortodoksi syariat ini membatasi perubahan sementara tak ada lagi otoritas tunggal politik yang punya wewenang untuk menginisiasi perubahan tersebut.

“Konstruksi negara bangsa yang merupakan basis dari tata dunia hari ini tidak menyediakan fungsi hakim sebagaimana disyaratkan dalam tathbîq asy-syarî’ah (operasionalisasi syariat). Bahkan negara-negara yang mengklaim identitas Islam pun secara konseptual tidak punya kapasitas untuk menyediakan pemangku peran hâkim yang dapat diterima universal oleh dunia Islam seluruhnya.”

Namun ada upaya untuk memaksakan adanya al-imâmah al-‘uzhmâ (imam besar) di tengah keragaman sistem politik yang sudah mapan saat ini. Konsekuensinya, papar Gus Yahya, adalah kekacauan yang bahkan lebih besar lagi karena negara-negara yang sudah ada dipaksa bubar, yang merupakan negara-negara di mana umat Islam saat ini tinggal.

“Cita-cita mendirikan kembali negara khilâfah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi,” tandasnya.

Karena itu cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia, menurut dia, dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non- Muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam (ukhuwah basyariyyah), seperti yang disuarakan Nahdlatul Ulama sejak tahun 1984.

PBB dan Piagam PBB, kendati kini belum sempurna, bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai, harmonis, dan adil.

“Daripada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara khilâfah, kami memilih jalan lain, mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fikih,” katanya.

Fikih baru ini berupaya mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis.

“Visi yang seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariat,” tegasnya.

 

196