Home Ekonomi Anomali, Defisit Migas Tapi RI Jadi Negara Paling Royal Beri Subsidi

Anomali, Defisit Migas Tapi RI Jadi Negara Paling Royal Beri Subsidi

Jakarta, Gatra.com - Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov mengatakan Indonesia menjadi negara paling royal mengalokasikan anggaran subsidi energi. Diketahui pada 2022 realisasi subsidi energi mencapai Rp157,6 triliun. Padahal dari segi perdagangan minyak dan gas (migas), RI mengalami defisit pada 2022 mencapai U$$24,4 miliar (Rp369,8 triliun).

"Uniknya, kita negara yang defisit migas tetapi cukup royal memberikan anggaran subsidi energi, ini kan menjadi sebuah anomali," ujar Abra dalam diskusi publik Indef secara virtual, Selasa (14/2).

Abra mengatakan defisit perdagangan migas tersebut salah satunya dipicu oleh penurunan tren produksi migas di dalam negeri. SKK Migas mencatat realisasi lifting minyak tahun 2022 sebesar 612.300 (bopd) atau lebih rendah dari target APBN 2022 sebesar 703.000 (bopd).

"Produksi migas kita turun, selalu melesat di bawah target APBN," ucapnya.

Di sisi lain, ketergantungan impor migas RI dinilai masih sangat tinggi. Abra menyebut sebanyak 75% kebutuhan LPG domestik masih dipasok dari luar negeri. Selain itu, sekitar 53% bahan bakar minyak terutama jenis premium (RON 88) dan pertamax (RON 92) juga masih mengandalkan impor.

Ketergantungan impor migas yang tinggi, kata Abra beresiko akan lonjakan harga energi global. Menurutnya, meskipun dalam APBN tahun ini pemerintah mengasumsikan harga minyak dunia di kisaran US$80 per barel, resiko harga melonjak menjadi US$100-110 per barel menjadi sangat mungkin.

Pasalnya, Abra menyebut skenario terburuk dari konflik geopolitik yang berkepanjangan masih perlu diwaspadai. Resiko itu dinilai tidak dapat diprediksi dan berpotensi mendongkrak harga minyak dunia jauh di atas asumsi pemerintah, seperti halnya yang terjadi pada tahun lalu.

"Artinya, ada resiko dari sisi volume impor dan juga dari sisi harga komoditas energi itu sendiri. Dari sisi skenario buruk, ketidakpastian ini tidak bisa kita antisipasi dan sejauh mana ruang fiskal kita bisa menahan gejolak tadi," imbuh Abra.

 

52