Home Internasional Pakar Ungkap Penyebab Kemandekan Perundingan Damai Rusia-Ukraina

Pakar Ungkap Penyebab Kemandekan Perundingan Damai Rusia-Ukraina

Jakarta, Gatra.com - Invasi Rusia ke Ukraina tepat berusia satu tahun terhitung 24 Februari 2023. Sayangnya, tanda-tanda perdamaian belum tampak di tengah gejolak perang antara dua negara tetangga tersebut. Mendekati satu tahun invasi, Rusia justru meningkatkan intensitas serangan ke Ukraina melalui rudal dan pesawat tak berawak ke sejumlah sasaran di Ukraina bagian timur dan selatan.

Di sisi lain, Ukraina seakan menantang konflik dengan mengajukan permohonan status keanggotaan Ukraina ke NATO pada September 2022. Perundingan damai yang dilakukan kedua negara lewat kesepakatan Belarusia dan kesepakatan Turki belum menyentuh penyelesaian damai. Sementara itu, korban sipil dan militer terus berjatuhan sebagai dampak perang Rusia-Ukraina.

Tentara Rusia dalam Operasi Militer Khusus ke Ukraina (REUTERS/ Alexander Ermochenko)

Analis Politik dan Keamanan, Yohanes Sulaiman mengatakan, perang Rusia-Ukraina akan berlangsung panjang mengingat mandeknya sejumlah kesepakatan damai kedua negara. “Alasannya sederhana kedua pihak tidak sepakat untuk berunding. Mungkin di bulan-bulan pertama invasi, Ukraina menyatakan bahwa ia siap berunding, namun pada saat ini, posisi Rusia lebih buruk,” ujar Yohanes kepada Gatra.com.

Ia membeberkan faktor penghambat negosiasi damai Rusia dengan Ukraina. Menurutnya, Rusia menekankan bahwa pencaplokan atau aneksasi empat provinsi milik Ukraina, yakni: Lugansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia merupakan harga mutlak untuk perdamaian di mana gagasan tersebut jelas ditolak Ukraina.

“Rusia menginginkan aneksasi wilayah Ukraina agar invasinya memiliki hasil. Sedangkan, Ukraina yang semakin kuat karena mendapatkan persenjataan dari Barat berambisi mengusir Rusia dari seluruh wilayahnya,” ucap Yohanes.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Achmad Yani itu menyatakan, kesepakatan damai Rusia-Ukraina sejatinya dapat didorong oleh Amerika Serikat. Hanya saja, negara Paman Sam tersebut lebih menunjukkan komitmennya untuk mendukung Ukraina dengan menjadi donatur senjata terbesar untuk negara tersebut.

“Alternatif lain mungkin Turki, dan memang sudah dilakukan Turki setahun ini, walaupun tidak ada hasilnya,” katanya. Menurut Yohanes, Turki punya daya tawar di mata ke dua negara. Selain dipandang netral secara politik, Turki dianggap memiliki leverage atau manfaat bagi Rusia dan Ukraina.

“Turki menjual senjata drone ke Ukraina sementara itu membantu Rusia mengekspor barang-barangnya, sehingga Turki didengar keduanya,” ucapnya. Menurutnya, perang Ukraina-Rusia akan berhenti kalau salah satu pihak tidak kuat dan akhirnya menyerah. Kemandekan prakarsa damai yang digagas Turki lebih disebabkan pada ego kedua negara untuk menghentikan konflik.

Tentara Ukraina Menembakkan Peluru di Kawasan Donetsk, Ukraina (REUTERS/Stringer)

“Selama Ukraina terus didukung Amerika, dan selama Rusia bisa terus mendapatkan uang dengan mengekspor minyak dan gasnya, maka perang akan terus berlangsung,” Yohanes menerangkan. Terkait negara ketiga yang berpotensi menjadi juru damai atau negosiator konflik seperti India, Uni Emirat Arab (UEA), dan Afrika Selatan (Afsel) menurutnya tidak akan memberi pengaruh karena negara tersebut tidak memiliki daya tawar yang cukup.

“Afsel tidak akan didengar oleh Ukraina, sedangkan India sendiri tak memiliki kemampuan untuk menekan Rusia, mengingat India sangat membutuhkan minyak dari Rusia,” katanya. Meski punya pengaruh di Asia, kondisi geopolitik India menurutnya tidak menguntungkan. India dikelilingi negara yang tidak bersahabat. Pakistan di barat, dan Cina di utara dan timur. “Mereka tak bisa menyinggung Rusia dan membuat posisi India lebih sulit,” tutur lelaki peraih doktor dari The Ohio State University tersebut.

Yohanes menyebut, perang Rusia-Ukraina berdampak cukup besar terhadap stabilitas kawasan di jangka panjang. Mulai dari masalah perekonomian yang tidak menentu akibat minyak, ketidakjelasan pasokan pangan, dan resiko perang nuklir, hingga dampak terhadap agresivitas Cina di Asia. “Kekejaman Rusia melakukan pembantaian terhadap warga sipil Ukraina di Bucha, Mariupol, dan banyak lagi membuat Ukraina melihat [perang] ini sebagai pertaruhan hidup atau mati,” katanya.

326