Home Ekonomi Regulasi dalam Pasar Monopoli dan Oligopoli

Regulasi dalam Pasar Monopoli dan Oligopoli

Jakarta, Gatra.com - Founding father ilmu ekonomi modern, Adam Smith memperkenalkan istilah “tangan tidak nampak” atau invisible hand yang mendorong ekonomi pasar selalu mengarah ke titik keseimbangan yang memberikan hasil terbaik kepada setiap orang.

Namun, ekonomi pasar bekerja tidak seperti yang diimpikan oleh Adam Smith. Pasar hanya dikuasai oleh segelintir produsen (oligopolis) yang memiliki market power (kekuatan pasar) mengeksploitasi konsumen. Bahkan para oligopolis atau monopolis ikut mengendalikan urusan publik.

Aristoteles mendefisnisikan oligarki sebagai oligopolis (segelintir orang kaya) yang mengatur atau menguasai urusan publik. Sementara market power adalah kemampuan oligopolis (sekelompok pelaku usaha) menetapkan harga jauh lebih besar dari biaya rata-rata untuk menghasilkan barang bersangkutan.

Kondisi ini mengingatkan kepada ekonom Perancis, Jean Tirole peraih hadiah nobel ekonomi tahun 2014 atas penelitiannya mengenai regulasi dan kemampuan mendikte pasar (regulation and market power). Tirole mengaplikasikan teori permainan (game theory) ke dalam pembuatan kebijakan atau peraturan.

 

Kekuatan Pasar

 

Penelitian Tirole merevolusi bidang ilmu ekonomi mikro. Tirole menganut prinsip bahwa pasar yang dikuasai oligopolis yang memiliki market power harus diatur oleh pemerintah. Gagasan Tirole sejalan dengan ide Robert J. Shiller, pemenang nobel ekonomi 2013 yang mengasumsikan bahwa pasar yang tidak efisien memerlukan pengaturan.

Gagasan Tirole membantu pemerintah dan otoritas persaingan di seluruh dunia menemukan strategi terbaik mengatasi masalah penyalahgunaan posisi dominan oleh para oligopolis di pasar. Di mana segelintir produsen dapat berkartel dengan cara bersepakat secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, untuk menetapkan harga, membatasi produksi, membagi pasar dan berkolusi memenangkan tender.

Secara empiris, bentuk pasar persaingan sempurna yang terdiri dari banyak produsen bersifat artifisial. Pasar persaingan sempurna dicirikan oleh banyak penjual, informasi setiap pelaku usaha sama, tidak ada hambatan masuk dan keluar pasar, barang dan jasa yang dijual bersifat homogen, dan pelaku usaha tidak dapat mempengaruhi harga.

Sejatinya, pasar di manapun berbentuk oligopoli, yaitu terdapat beberapa pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar besar dan memiliki market power yang disebut oligopolis. Para oligopolis cenderung mengeksploitasi pasar melalui kesepakatan harga (price fixing) dengan cara mengatur produksi atau penjualan.

Pengalaman di masa lalu, kemampuan mendikte pasar dari para oligopolis dalam kasus Indonesia diciptakan oleh pemerintah. Oligopolis kemudian bermetamorfosis menjadi oligarki. Hal ini dapat diamati dalam kasus tata niaga impor komoditas pangan yang menerapkan persyaratan tertentu bagi calon importir. Persyaratan trersebut hanya bisa dipenuhi oleh beberapa pelaku usaha saja.

 

Kerangka Regulasi

 

Konsep Tirole yang menjadi pionir dalam kajian ekonomi regulasi menyatakan bahwa pasar dengan segilintir pelaku usaha memerlukan pengaturan. Gagasan ini semakin relevan paska krisis ekonomi 2008-2009 yang membuat beberapa raksasa keuangan mengalami kerugian dan di-bailout oleh pemerintah.

Regulasi industri yang dikuasasi segelintir pelaku usaha dimaksudkan untuk menghindari persoalan Too Big to Fail (TBTF). Perekonomian nasional tidak mungkin hanya dikontrol segelintir konglomerat yang imun dari pengawasan dan pengaturan. Pemerintah tidak boleh mentolerir perilaku oligopolis yang terlampau beresiko, mengarah pada moral hazard yang berpotensi merugikan perekonomian nasional.

Pengalaman Korea Selatan, sejak krisis ekonomi 1997/1998 mengubah haluan ekonominya dari kontrol negara yang ditopang segelintir Chaebol (sebutan untuk oligarki Korea Selatan) ke mekanisme pasar dengan pengawasan dan pengaturan ketat. Otoritas persaingan Korea, yaitu Korea Fair Trade Commission (KFTC) diberdayakan dengan kewenangan besar untuk menghukum perilaku anti persaingan.

Sejalan dengan isu di atas, disain regulasi yang baik khususnya bagi industri yang didominasi oleh segelintir pelaku usaha, menghindari doktrin One Size Fits All, yaitu satu regulasi diberlakukan sama untuk semua industri, seperti dalam tata niaga impor pangan. Idealnya, disain regulasi menyesuaikan dengan karakteristik yang sangat spesifik dari setiap industri.

Akhirnya, pemerintah selayaknya mengingat kembali peringatan Acemoglu dari MIT dan Robinson dari Universitas Harvard dalam bukunya berjudul: “Why Nations Fail: The Origin of Power, Prosperity and Poverty”.

Keduanya berkesimpulan bahwa permasalahan ekonomi di Afrika, Asia, Eropa Timur, dan Amerika Selatan bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat regulasi yang tepat untuk memberdayakan seluruh aset ekonominya.

 

Oleh:

Muhammad Syarkawi Rauf

Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

685