Home Hiburan Pentas Tari “Ramayana” dari Sudut Pandang Feminisme Siap Digelar 28 Februari di TIM

Pentas Tari “Ramayana” dari Sudut Pandang Feminisme Siap Digelar 28 Februari di TIM

Jakarta, Gatra.com– Dunia tari yang diutas dengan tarian serta diringi dengan music tradisional, menjadi pementasan yang sangat dirindukan. Bukan hanya sebagai tradisi nenek moyang, cerita pewayangan yang begitu melegenda, tak pernah selesai untuk disimak dan dinikmati bersama dengan keluarga, khususnya bagi para generasi muda sebagai pewaris budaya dari bangsa besar ini.

Dengan didukung  hampir 200 penari, pemusik,  pemeran dan pekerja seni, Paguyuban Kridha Hambeksa akan  kembali mementaskan sebuah pergelaran  teater tari, berjudul RAMAYANA. Sebuah cerita yang dibalut dengan kisah asmara para dewa, dalam cerita pewayangan, yang tak pernah habis untuk diulas dan diceritakan kembali.

Pergelaran ini merupakan pentas dari kolaborasi antar komunitas pecinta seni di Jakarta melalui pemajuan apresiasi kesenian tradisional, yang mana memberikan ruang ekspresi bagi anak-anak panti asuhan terutama anak-anak penghuni RUMAH PIATU MUSLIMIN di Jakarta.

Cerita Ramayana diangkat dalam pementasan komunitas Paguyuban Kridha Hambeksa, pertimbangannya terkait keterlibatanan personil dalam gelaran, yang diketahui Paguyuban Kridha Hambeksa memiliki anggota yang cukup banyak, dan seluruhnya merupakan para pencinta dan penikmat seni.

“Dengan berbagai profesi, mereka berkumpul dengan kesamaan pengalaman, yakni pernah belajar seni, baik saat sekolah, kuliah atau di manapun. Profesi mereka bermacam-macam, ada pengusaha, dokter, lawyer dan lainnya," papar Produser dan Naskah Pentas Seni Paguyuban Kridha Hambeksa Bram Kushardjanto dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (25/2).

Bagi warga masyarakat yang menyukai Wayang Wong (wayang orang), dalam pertunjukan ini akan disuguhkan pertunjukan menggigit, dengan garapan tari menjadi sajian utama. Unsur dialog teatrikal dalam Wayang Wong hampir keseluruhan digantikan oleh tembang.

Pementasan yang akan diselenggarakan di Gedung Teater Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 28 Februari 2023 mendatang, akan lebih mengeksplorasi isi pesan, desain produksi. (GATRA/Dok Ist)

Ini membuat pergelaran Ramayana lebih mirip dengan opera tradisi ketimbang Wayang Wong. Bukan hanya itu, pentas pun akan disuguhkan dengan komposisi music yang akan sangat dominan di hampir seluruh garapan.

"Kita perlu satu lakon yang kira-kira bisa mengakomodir semua teman-teman dengan lintas generasi ini. Untuk itu, kami pilih lakon paling meriah, yang mana lakon Ramayana. Ramayana cukup cair, banyak yang mengenali dan lebih hitam putih dalam jalan ceritanya,” ungkap dia.

Bram memaparkan, Pentas Ramayana yang pernah dipertunjukan oleh Paguyuban Kridha Hambeksa di tahun 2022, telah mengalami perkembangan sejak pentas yang pertama pada tahun 2011. Saat itu pentas Ramayana masih berbentuk Wayang Wong panggung tradisional. Kemudian berkembang pada tahun 2012 ke bentuk Sendratari.

Pada tahun 2018 pentas Ramayana mulai berubah menuju bentuk terakhir, yang dipentaskan 4 Februari 2020 di Gedung Kesenian. Pementasan yang akan diselenggarakan di Gedung Teater Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 28 Februari 2023 mendatang, akan lebih mengeksplorasi isi pesan, desain produksi.

Terutama  dari sisi penataan artistik seperti tata cahaya, tata suara dan tata panggung, yang bernilai lebih meriah dan modern. Purupiru sebagai konsultan komunikasi turut berpartisipasi dengan mendukung dokumentasi dan komunikasi pentas Ramayana ini.

Gelaran cerita Ramayana yang mungkin menjadi cerita Ramayana terakhir ini, rencananya akan digelar di Bulan Desember 2023. Namun realisasinya akan digelar pada akhir bulan Februari ini. “Karena ini terakhir kita ingin membuat garapannya lebih baik, dengan meminta ke sutradara Bu Elly," jelas Bram.

Kemudian Ia mengundang Irawan Karseno sebagai penasehat artis kita, terkait dengan naskah dari sudut pandang cerita Ramayana ini. "Selanjutnya juga mengundang komposer Gendut Dwi Suryanto dari ISI Solo, sehingga apa yang kita lihat di Ramayana ini nanti akan sangat berbeda dengan Ramayana yang sudah-sudah,” jelas Bram.

267