Home Info Sawit Sinyal 'Bahaya' Produksi Sawit

Sinyal 'Bahaya' Produksi Sawit

Jakarta, Gatra.com - Tak banyak yang tahu kalau lelaki 61 tahun ini sudah menyusuri belantara Riau pada 1988 silam. Dia mengomandani pembangunan kebun kelapa sawit PT. Sari Lembah Subur (SLS), anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari di kawasan Kabupaten Pelalawan (dulu masih masuk wilayah Kabupaten Kampar).

Dari sana, lelaki bernama Eddy Martono ini terbang pula ke kawasan Mamuju Sulawesi Barat (dulu masih masuk dalam wilayah Sulawesi Selatan), untuk membangun kebun kelapa sawit PT. Surya Raya Lestari (SRL), masih anak perusahaan Astra Agro Lestari.

"Dari sana, saya masih hijrah juga ke Lamandau Kalimantan Tengah untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Praktis, lebih dari 30 tahun saya berkecimpung di dunia perkelapasawitan," cerita Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ini saat berbincang dengan Gatra.com di kantornya di kawasan Jakarta Pusat, Kamis dua pekan lalu.

Tak terasa, kini, perkebunan kelapa sawit sudah menjelma menjadi indusri raksasa di Indonesia. Dari sekitar 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit yang ada, saban tahun telah menghasilkan sekitar 50 juta ton Crude Palm Oil (CPO).

Baca juga: 10 Nama ini Bakal Bertarung di Munas GAPKI

Di satu sisi, sebagai pelaku perkebunan kelapa sawit, Eddy bangga dengan kenyataan itu. Terlebih lagi, industri ini telah pula menggelontorkan devisa terbesar ke kocek negara; mencapai Rp500 triliun.

Tapi belakangan, Eddy mulai resah. Sebab empat tahun terakhir trend produksi CPO itu menurun, sementara konsumsi lokal terus meningkat. Enggak hanya untuk pangan, tapi juga energi.

"Data terakhir, kebutuhan lokal kita sudah mencapai 21 juta ton. Tahun depan angka ini tentu bakal naik lagi, apalagi setelah adanya program energi --- bahan bakar --- terbarukan. Bahan bakar fosil kan mahal. Sementara pemerintah musti melakukan penghematan devisa. Maka biodiesel akan menjadi pilihan utama lantaran telah terbukti begitu luar biasanya menghemat devisa negara. Pertanyaan yang kemudian muncul, dari mana kita akan memenuhi kebutuhan ini kalau produksi kita terus menurun? Apa yang menyebabkan penurunan itu?" Eddy mengurai.

Nah, inilah yang musti menjadi perhatian bersama, baik oleh pengambil kebijakan maupun industri dan untuk inilah semua pemangku kepentingan harus duduk bersama.

"Kita musti segera membikin roadmap yang jelas. Roadmap ini bisa jadi dibikin oleh Bappenas setelah mendapat masukan dari kementerian dan stakeholder terkait. Industri sawit ini mau dibawa kemana, mau berapa juta ton kebutuhan energi, berapa juta ton kebutuhan pangan dan berapa juta ton kebutuhan devisa (ekspor)," ujarnya.

"Kita juga butuh devisa. Devisa sawit kita sangat luar biasa. Di masa pandemi, sawit terbukti tangguh, tahan banting, devisa kita naik dan...walau ekspor turun, devisa kita malah bisa naik," tambahnya.

Saat duduk bersama itu kata Eddy, di situlah sederet pertanyaan-pertanyaan yang ada diurai dan kemudian dijawab.

Misalnya, kenapa PSR mandeg, apa penyebabnya. Kenapa produksi korporasi turun terus, apa masalahnya. Gimana caranya supaya harga pupuk terjangkau, semua harus diurai biar ketemu masalahnya.

"Untuk ini kita harus bareng dan kuncinya ada di pemerintah. Soal pupuk misalnya, biar enggak membebani pemerintah, pupuk enggak usah disubsidi, tapi bisa disiasati melalui insentif pajak," Eddy memberi solusi.

Lalu terkait kebutuhan yang terus meningkat, bisa juga pemerintah membikin satu kawasan yang enggak ada swasta di sana.

"Katakanlah untuk kebutuhan energi. Cukup BUMN dan masyarakat yang membangun kebun kelapa sawit di sana. Kalau untuk kebutuhan energi sudah ada, kebutuhan pangan bisa terselamatkan. Intinya, jangan sampai kita lengah," Eddy mengingatkan.

Yang pasti kata Eddy, semua harus aware, harus sadar. Sebab kondisi yang ada saat ini sudah tanda bahaya, sudah lampu kuning meski penurunan produksi itu masih kecil. Kalau warning (kuning) ini enggak diperhatikan betul, akan menjadi merah nantinya.

"Kita musti selalu ingat lho bahwa Indonesia, tidak hanya menjadi produsen terbesar, tapi juga konsumen terbesar sawit. Kalau kenyataan ini enggak kita siasati, bahaya!" lelaki ini mendelik.

Eddy kembali mempertegas; kalau produksi turun terus, konsumsi naik terus, ini bahaya. Jangan sampai kondisi ini membikin larangan ekspor kembali muncul. Sebab kalau ekspor dilarang, devisa akan menjadi korban. Apa devisa mau dikorbankan sementara kita butuh devisa?

"Jadi, kalau semua aware dengan persoalan yang ada, saya yakin masalah bisa diselesaikan. Nah, oleh kondisi ini pula, siapapun yang menjadi Ketua Umum GAPKI nanti, tugasnya akan sangat berat. Lantaran beratnya tugas itu, dibutuhkan pengurus yang benar-benar mau bekerja. Maklum, di organisasi enggak ada gaji. Jadi, dibutuhkan pengurus yang mau bekerja sukarela, total dan tidak digaji," katanya.

Dan Eddy berharap, apapun hasil yang didapat di Munas nantinya, hendaknya menjadi pengikat satu sama lain. "Kita musti bersama, saling rangkul, termasuk juga dengan asosiasi petani yang ada. Sebab mereka adalah saudaranya GAPKI," ujar Eddy.


Abdul Aziz

255