Home Ekonomi Erick Thohir: Waktunya Mendunia, Ini Globalisasi ala Indonesia

Erick Thohir: Waktunya Mendunia, Ini Globalisasi ala Indonesia

Jakarta, Gatra.com– Di tengah ketidakpastian ekonomi global pasca pandemi Covid-19, Menteri BUMN Erick Thohir menilai Indonesia punya peluang besar menjadi negara maju dengan memanfaatkan globalisasi pasca Covid-19 untuk meningkatkan investasi.

“Kebijakan ekonomi Indonesia haruslah menjadi kebijakan yang beyond globalization, yaitu globalisasi ala Indonesia,” kata Erick Thohir dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu (1/3). Beyond globalization adalah globalisasi yang memberi kesempatan negara berkembang seperti Indonesia untuk maju.

Erick menambahkan, globalisasi ala Indonesia haruslah dilakukan berdasarkan kesepakatan saling menguntungkan, bukan berarti globalisasi kepada semua negara. Menurutnya, hal itu pernah dialami Cina pada era tahun 1980-an.

Saat itu, Cina menjadi salah satu pusat perekonomian dunia. Sekarang, kata Erick, Indonesia adalah salah satu pusat perekonomian dunia.

“Saya sangat percaya bahwa kalau dulu pusat pertumbuhan ekonomi dunia ada China di tahun 1980-an, ini waktunya bagi Indonesia untuk dihargai Dunia. Saya tidak ingin Indonesia menjadi Asia’s overlooked giant. Raksasa Asia yang terabaikan,” kata Erick. 

Pandemi Covid-19 dan terganggunya rantai pasokan akibat perang, kata Erick, telah menyebabkan 47 negara menjadi pasien IMF, terbesar dalam sejarah. Sementara Indonesia memiliki pondasi ekonomi yang kuat. Itu tercermin antara lain dari surplus perdagagan di tahun 2022 sebsar USD 54,53miliar atau tumbuh sebesar 53,96% dibandingkan 2021.

Surplus ini dipengaruhi oleh windfall harga komoditas, dengan komoditas unggulan antara lain batubara, minyak kelapa sawit, serta besi dan baja dengan total ekspor masing-masing sebesar USD 46,74miliar, USD27,77 miliar, dan USD 27,82miliar.

Di sisi lain, ekonomi Indonesia pada 2022 tumbuh sebesar 5.31% yang ditopang dari sisi domestik melalui Konsumsi Rumah Tangga. Jumlah penduduk dengan pendapatan kelas menengah juga sudah mencapai 31% dari total penduduk. PDP perkapita Indonesia juga diproyeksikan meningkat dari $3.800 di 2020 menjadi $5.000 di 2023.

Dengan keunggulan itu, kata Erick, Indonesia dapat memaksimalkan keuntungan untuk berkolaborasi dengan negara lain. Dengan Jepang, misalnya. Meskipun dikenal sebagai negara maju dengan inovasi teknologi dan etos kerja tinggi, namun Jepang memiliki tantangan ekonomi struktural seperti populasi masyarakat yang menua (aging population) dan deflasi.

“Jepang membutuhkan tenaga kerja yang muda. Di sisi lain, Indonesia mempunyai tenaga kerja muda yang banyak dan membutuhkan  penciptaan lapangan kerja. Indonesia bisa berkontribusi dalam membantu perekonomian Jepang dengan mengisi kebutuhan tenaga kerja di sektor kesehatan, terutama sebagai perawat untuk kalangan lansia,” ujar pria yang dinobatkan CNBC sebagai Menteri Terbaik 2022 itu.

Sedangkan untuk Indonesia, Jepang dapat membantu dalam pengembangan infrastruktur logistik seperti pelabuhan dan kereta api, tidak hanya di jaalan tol.
Win-win solution ini akan meningkatkan kerjasama ekonomi antar kedua negara,” tambah Erick.

Begitu juga dengan Tiongkok dan Korea Selatan. Kedua negara itu punya kapasitas produksi dan inovasi teknologi tinggi, namun dengan biaya terjangkau. Indonesia, kata Erick, dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas sumber daya alam seperti hilirisasi nikel untuk membuat komponen baterai listrik dan membangun ekosistem baterai listrik di tanah air.

“Artinya, saya tekankan bahwa Indonesia terbuka untuk berkolaborasi dengan negara lain dan tidak antiglobalisasi. Tapi kita tekankan globalisasi yang saling menguntungkan. Ekosistem yang berdasarkan Indonesia diberikan kesempatan menjadi negara maju, tidak hanya menjadi menjadi negara berkembang,” kata Erick.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo getol mendorong hilirisasi sumbedaya alam dengan melarang ekspor bahan baku seperti nikel dan bauksit. Meskipun kebijakan itu ditentang sebagian negara Eropa dan membuat Indonesia digugat ke WTO, Presiden Jokowi bersikukuh menjalankan kebijakan itu. Penyebabnya, Indonesia merugi jika hanya mengekspor bahan mentah dibanding perusahaan asing masuk ke Indonesia untuk mengolah bahan mentah itu di Indonesia. Cara ini dinilai sebagai globalisasi yang saling menguntungkan.

Indonesia diketahui memiliki kandungan nikel terbesar di dunia dengan cadangan 72 juta ton dan cadangan tembaga nomor tujuh dunia sebesar 28 juta ton.

Selain itu, Indonesia juga memiliki tanah subur yang dapat dimanfaatkan untuk sawit sebagai bahan bio disel dan perkebunan tebu untuk pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar dunia.

93