Home Hukum Peneliti TI Indonesia Soroti 138 Kasus Korupsi Kepala Daerah

Peneliti TI Indonesia Soroti 138 Kasus Korupsi Kepala Daerah

Jakarta, Gatra.com - Program Manager Tata Kelola Demokrasi Transparency International Indonesia Alvin Nicola menyoroti terjadinya fenomena korupsi di tingkat kepala daerah. Berdasarkan laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang Alvin kutip, terdapat sebanyak 138 kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun 2004-2022.

Angka itu belum mencakup data yang tercatat oleh pihak Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam pemaparan Alvin, disebutkan bahwa berdasarkan data organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW), ada sebanyak 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum, sepanjang 2010-2018 lalu.

"Yang tidak kalah penting, soal korupsi di level kepala daerah ya, di level birokrasi yang saya kira ini juga mencerminkan secara langsung ya, apa yang terjadi dalam birokrasi kita," kata Alvin Nicola dalam diskusi Paramadina Democracy Forum Seri ke-8: Etika Pejabat Publik dan Demoralisasi Birokrasi, Rabu (15/3).

Alvin mengatakan, hal itu berkaitan dengan korupsi politik. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh minimnya profesionalisme dalam konteks pencalonan pemimpin di Indonesia, yang mana diikuti oleh modal politik yang sangat besar. "Tentu, itu secara tidak langsung, kemudian membuka potensi untuk korupsi lagi ya," tuturnya.

Dalam pemaparannya, Alvin mencatatkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (Litbang Kemendagri) pada tahun 2015, yang menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur, membutuhkan biaya sebesar Rp20-100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya berkisar pada angka Rp5 miliar sepanjang satu periode.

Alvin mencatat, mahalnya biaya politik membuat calon kepala daerah menerima bantuan dari donatur maupun sponsor. Penelitian KPK pada tahun 2017 menyebutkan, 82,3 persen calon kepala daerah dibantu pendanaannya oleh sponsor.

"Belum lagi kalau kita bicara soal poin yang terakhir, soal suap dan juga keberadaan tim pelobi yang akhirnya dalam beberapa konteks menciderai prinsip independensi dalam konteks birokrasi itu sendiri ya," kata Alvin.

"Di beberapa daerah juga itu sangat jelas, terutama kalau saat ini konteksnya di penjabat ya. Di daerah-daerah sudah ada penjabat, yang kemudian dipilih tanpa proses yang transparan dan akuntabel, itu dengan cukup mudah tuh kemudian memasukkan unsur-unsur nepotismenya dalam struktur birokrasi dia saat ini," ucap Alvin.

"Apakah dalam konteks yang konkret gitu ya, asisten kepala daerah, ataupun dalam masuk langsung dalam tim-tim pelobi untuk pengadaan barang dan jasa, misalnya. Jadi, gejala-gejala ini juga kami rasa penting untuk diamati," tandasnya.

233