Home Sumbagsel Tergadainya Lahan Warga atas Janji Manis PLTU Sumsel 1

Tergadainya Lahan Warga atas Janji Manis PLTU Sumsel 1

Muaraenim, Gatra.com - Di balik kesuksekan pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumsel 1 di Desa Tanjung Menang, Kabupaten Muaraenim, menuai protes dari warga setempat yang terabaikan haknya hingga saat ini.

Sejak ground breaking 2016 lalu, pembangunan proyek PLTU Sumsel 1 yang target opersional sendiri terkesan berjalan lambat akibat pembangunan terkendala Covid-19 pada tahun 2020-2021 itu, saat ini sudah memasuki 80 persen tahap finishing.

Polemik terkait pembebasan lahan masih terjadi antara pemilik eks lahan dengan pihak PT Shenhua Guohua Lion Power Indonesia (SGLPI) selaku pemilik proyek dan PT Lion Power Energy (LPE) selaku subkontraktor. Warga sekitar PLTU terus menuntut haknya perihal ganti rugi serta pemberdayaan tenaga kerja.

Ketua posko Rumah Merdeka, Satria Darma Wijaya membenarkan jika SGLPI memenangkan tender PLTU Sumsel 1 di desa mereka. Jadi sebelumnya perusahaan asal Tiongkok tersebut bekerjasama dengan perusahaan Indonesia yakni PT LPE.

"Kewenangan pembebasan lahan diserahkan pada LPE, yang saat ini sudah bangkrut dan pemiliknya sudah tidak ada lagi. Kemudian diambil alih oleh PT Graha Wahana Kencana (GWH) yang masih dalam 1 naungan Bomba Grup. Tugas mereka bagian pembebasan lahan dan tambang," terang pria yang juga petugas BUMDes Cipta Karya Mandiri Tanjung Menang ini.

Awal Kekecewaan

Persoalan pembebasan lahan produksi warga yang tergerus oleh proyek PLTU, oleh warga setempat begitu dipersoalkan sebagai kompensasi anak keturunan mereka dipekerjakan sebagai karyawan di perusahaan asal tirai bambu tersebut. 

"Tidak ada masalah konflik harga dan sebagainya. Mereka berharap PLTU bisa menjamin masa depan anak mereka. Namun sekarang tak terealisasi, di situ warga sakit hati," ujarnya.

Ketika mulai penerimaan karyawan produksi sesuai lowongan, nyatanya penyerapan baru empat orang saja. Terkait administrasi tidak ada kejelasan. Padahal pihak PLTU mengaku bilang belum siap, tapi sudah menerima.

"Seharusnya yang didahulukan adalah mereka, punya kesepakatan awal, yang lahannya sudah diambil untuk PLTU. Lucunya, yang masuk juga verifikasinya tidak fair. Banyak titipan orang luar dan berpengaruh," ujarnya.

Sedangkan empat orang warga lokal yang sudah bekerja ini, hanya satu orang yang punya perjanjian lahan beberapa waktu lalu. Itupun setelah didesak dan diperjuangkan sehingga terkesan ada paksaan.

"Mereka pemilik eks lahan ini sangat kecewa, ada salah satu warga bernama Sardi sempat ingin mengembalikan uang ganti rugi. Karena menunggu hal yang belum pasti, sementara keluarganya sangat bergantung direkrut atas perjanjian tersebut," ucapnya.

Egi Farido, putra Arfendi salah satu warga pemilik eks lahan mengaku sudah dua kali mengikuti tes di produksi namun belum juga lolos. Saat tes pertama dibuka sekitar 40 lowongan, dan yang ikut tes hanya 15 orang dan dirinya belum juga diterima.

"Saya ikut tes tanpa menyertakan surat perjanjian dari orangtua. Mau mencoba murni dulu. Namun setelah dua kali gagal masuk, sepertinya kali ini akan pakai surat tersebut," ujarnya.

Alumni D3 Teknik Komputer Politeknik Sriwijaya ini sempat ingin mencari pekerjaan lain di luar PLTU. Namun sang ibu bersikeras untuk bersabar dan tetap berjuang masuk di PLTU ini.

"Pada surat perjanjian itu tertera nama saya, artinya jatah kami itu ada. Kalau saya mencari pekerjaan lain tiba-tiba diterima masuk PLTU, bisa kena finalty. Makanya masih menunggu untuk panggilan PLTU walaupun entah kapan pastinya," ujarnya.

Senada yang diungkapkan Mugi Riansyah, salah satu pemilik eks lahan yang kini menyesal sudah menjual lahan untuk PLTU. Dirinya merasa semua pihak saling lempar tanggungjawab atas nasib mereka, padahal sangat jelas semua kesepakatan ditandatangi di depan notaris.

Bahkan dirinya sempat menolak untuk menjual lahannya yang seluas 1 hektar, karena lahan tersebut sumber mata pencaharian keluarganya. Namun ketika ada perjanjian perekrutan tenaga kerja, Mugi menaruh harapan untuk generasi keluarganya diterima sehingga dengan terpaksa melepas lahannya.

"Saya orang terakhir yang menandatangani perjanjian. Ini bukan soal harga, namun harapan anak dan keluarga bisa bekerja disana untuk masa depan mereka. Kalau soal harga saya tidak tergiur karena uang akan menguap habis begitu saja. Tapi masa depan anak yang dipikirkan," ujarnya.

Kades Tanjung Menang, Derista Riduan mengaku, terkait adanya perjanjian dari pihak Subkontraktor ke warga pemilik eks lahan, Derista menjelaskan jika saat pembebasan lahan 2016 lalu dirinya belum menjabat Kades. Ada masa tenggang 1,5 tahun kala itu dan posisi Kades dijabat oleh PJS.

"Pada Masa itulah kemudian ada kesepakatan lahan mereka diserahkan untuk dibangun PLTU dengan perjanjian diikutsertakan kerja di PLTU tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, saat ini tidak ada realisasi oleh perusahaan terkait," ungkapnya.

Adapun pihak perusahaan beralasan mereka butuh tenaga skill, dan Derista tidak memungkiri jika warganya tidak banyak yang bisa bekerja di bidang skill atau produksi. 

"Rata-rata kualifikasi pendidikan SMA. Kalau untuk lanjut ke perguruan tinggi sangat sedikit. Sementara mereka minta tenaga khusus seperti bagian elektro, kimia, kelistrikan. Kalau sifatnya umum mereka nggak terima," ujarnya.

Pihaknya terus berupaya agar warga desa bisa diprioritaskan dalam perekrutan di bidang skill ini. Maka itu pemuda di usia produktif didorong untuk melanjutkan pendidikan, agar tidak melulu bekerja di bidang non skill (buruh kasar).

"PLTU tersebut berdiri di tanah desa kami, jadi sangat wajar jika mensejahterakan warga desa dengan memberikan lapangan pekerjaan," ujar Kades.
Saat ini tercatat 35 orang warganya sebagai tenaga kasar, empat orang di produksi PT GLPI. Padahal warga desa yang bisa dipotensikan ada 117 orang dengan berbagai latar pendidikan mulai SMA, D1 hingga S1.

"Mata pencarian warga kami itu sebelum adanya PLTU bercocok tanam. Seperti menanam padi musiman, namun bukan sawah karena kita pematangan. Sebagian mereka juga menanam karet dan sawit sebagai salah satu ketahanan pangan," jelasnya.

Sehingga dari sini cukup jelas ada peningkatan perputaran perekonomian sejak dibangunnya PLTU. Sayangnya pemilik eks lahan yang buat perjanjian, anak-anak mereka tidak dipekerjakan. Bisa dibilang menurutnya, perusahaan tidak menghargai warga desa. 

Lempar Kesalahan

Sementara itu, Ade Muhammad Richard selaku HR & Humas PT Shenhua Guohua Lion Power Energy mengatakan, untuk proses rekrutmen tenaga kerja sendiri bekerjasama dengan 2 kecamatan yakni Rambang Niru dan Belimbing, lalu 5 desa di ring 1. 

"Kami selaku owner, saat operasional baru perekrutan ada pada kami. Kalau di masa kontruksi ini pihak kontraktor yakni PT LPE yang menyelenggarakan perekrutan. Memang kalau tenaga kerja sejauh ini masih kontruksi," jelasnya.

Terkait perekrutan sendiri, pihaknya selalu mengingatkan kontraktor agar tetap mengikuti birokrasi untuk bekerjasama dengan 2 camat dan 5 kades tersebut. Maka itu kalau kontruksi beda borongan, bisa itu lahan batubara, boiler dan sebagainya sehingga perekrutan setiap tahun ada.

"Sedangkan rekrutmen produksi baru di tahun 2021. Calon-calon operator sudah diambil dan sudah susun power plant. Nanti juga kami rekrut latar belakang keilmuan karena untuk 1 operator didampingi 2 Helper. Memang tidak perlu sekolah tinggi juga," bebernya.

Sesuai aturan di Amdal, terkait perekrutan ini dibagi persentasenya untuk 60 tenaga kerja lokal dan 40 dari luar. Apalagi yang kategori skill ini harus sekupnya Sumsel. Sementara untuk nonskill tetap prioritas 2 kecamatan dan 5 desa ring 1.

Terkait adanya perjanjian dengan pemilik eks lahan, dirinya juga mengaku baru mengetahui dan menyangkal jika PLTU membuat perjanjian tersebut.
"Saya baru masuk Agustus 2022 kemarin, dan sudah banyak komplain soal itu bahkan sampai ke DPR. Untuk pembebasan lahan kami bekerjasama dengan Lion Power Energy. Ternyata di dalam kontrak tertulis jelas tidak boleh ada penjamin apapun. Namun LPE melakukan itu dengan warga," ungkapnya.

Menurutnya pihak LPE tidak ada konfirmasi dengan PLTU. Dirinya seringkali menerima foto bukti perjanjian tersebut dengan eks pemilik lahan, makanya dirinya juga kaget. 

"Namun kami coba terima dulu masukan CV yang dijanjikan itu siapa tahu bisa kita bagi jobdesk nanti. Tetap semua CV kita terima tergantung kebutuhan dan kualifikasi pendidikan. Jadi masyarakat diminta bersabar dulu. Kami nggak keenakan, di satu sisi sudah ada perjanjian sedangkan kita di dalam tidak tahu apa-apa," ungkapnya.

Kemudian persoalan kontrak tenaga kerja sendiri, selalu owner pihaknya mewajibkan untuk para pekerja terikat kontrak dengan jelas. Namun faktanya saat ditelusuri ke bawah tidak demikian.

"Adanya ketidaksesuaian kontrak kerja ini kita sudah kaish finalti ke sub kontraktor karena mereka ini bekerja dengan resiko tinggi namun tidak ada jaminan asuransi. Sudah kita cek terus, minimal jika tidak dapat BPJS bisa asuransi swasta lainnya," terangnya.

Apalagi terkait status TKA, mereka cukup ketat dalam hal prosedural. Seperti visa yang dipakai adalah bisa pekerja semua. "Kita sudah bekerjasama dengan imigrasinya. Karena owner yang kena kalau bermasalah dalam visa ini," tutupnya.

Sebagaimana diketahui, Provinsi Sumsel, memiliki beberapa wilayah penghasil batubara dengan tingkat produksi cukup besar, nomor dua se-Indonesia. Sebut saja itu di Tanjung Enim Kabupaten Muaraenim, Kabupaten Lahat dan Kabupaten OKU. Letak ketiga daerah ini berada di endapan sedimen menjadikan wilayah ini memiliki potensi batubara yang cukup besar dengan potensi cadangan mencapai 9,29 miliar ton.

Inilah yang menjadi alasan Indonesa menarik investasi untuk membangun mega proyek PLTU di Sumsel, karena sumber energi primer pada pembangkit listrik tenaga uap dekat di sumber energinya, yaitu batu bara. Salah satunya proyek PLTU Sumsel 1 yang berada di desa Tanjung Menang kecamatan Rambang Niru kabupaten Muara Enim. Nantinya PLTU Sumsel 1 ini akan memproduksi dan menyediakan listrik sebesar 2x350 MW untuk menerangi provinsi Sumsel dan sekitarnya.

9945