Home Ekonomi Kemnaker Izinkan Perusahaan Potong Gaji Karyawan 25%, PKS: Memberatkan

Kemnaker Izinkan Perusahaan Potong Gaji Karyawan 25%, PKS: Memberatkan

Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kurniasih merespons penerbitan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Perusahaan Industri Padat Karya Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Kebijakan tersebut menyetujui perusahaan untuk memotong gaji pekerja hingga 25%.

Kurniasih menilai kebijakan tersebut memberatkan pekerja. Apalagi pemotongan gaji sebesar 25% bisa berlangsung selama enam bulan.

"Bukan menjadikan efisiensi di bidang SDM sebagai solusi yang termudah sehingga pekerja yang menjadi korban," ujar Kurniasih dalam keterangannya, Senin (20/3).

Baca juga: Padat Karya Minta Fleksibilitas Jam Kerja, Kemnaker: Negara Tak Kenal No Work No Pay

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini pun menyebut kebijakan tersebut dilakukan saat yang tidak tepat. Mengingat saat ini akan mulai memasuki bulan Ramadan di mana pada umumnya pengeluaran masyarakat akan meningkat.

Di sisi lain, harga-harga barang kebutuhan pokok akan naik selama Ramadan dan Hari Raya Idulfitri, kata dia semakin memberatkan hidup pekerja.

"Sekarang saja kita mengalami kenaikan harga beras sebagai kebutuhan pokok, belum lagi ditambah momen Ramadan dan Idulfitri. Tapi kebijakan untuk bukan hanya soal momennya yang tidak tepat, subtansi pemotongan gaji buruh juga tidak tepat," ungkapnya.

Pemotongan gaji karyawan sebanyak 25%, kata Kurniasih, bakal menurunkan daya beli masyarakat. Padahal, ia menilai pemotongan gaji atau PHK (Pemutusan hubungan kerja) seharusnya menjadi jalan terakhir bilamana tidak ada pilihan lainnya.

"Apakah sudah dilakukan insentif atau kebijakan lain untuk menstimulasi industri ekspor ini dalam bentuk keringanan cost lainnya sebelum mengambil kebijakan pemotongan gaji? saya kira banyak alternatif lain yang bisa dilakukan," tutur Kurniasih.

Karena itu, Kurniasih mendorong agar setiap kebijakan dalam hubungan industrial dibuat dengan semangat melindungi para pekerja. Musababnya, menurut dia posisi pekerja saat ini tidak selalu diuntungkan dalam kebijakan berskala besar seperti UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja.

"PKS konsisten menolak baik UU Cipta Kerja yang akhirnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat maupun menolak Perppu Cipta Kerja karena dari sisi pembuatan kebijakan, buruh atau pekerja tidak menjadi komponen yang terlindungi," imbuh Kurniasih.

Baca juga: Kemnaker Yakin, Perppu Cipta Kerja Jadi Solusi Hadapi Dinamika Ekonomi Global

Sebagai informasi, Pemerintah resmi menetapkan Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 untuk industri padat karya berorientasi ekspor. Dalam beleid itu, perusahaan diperbolehkan memotong jam kerja dan upah pekerja.

Adapun kriteria perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang boleh menerapkan kebijakan tersebut antara lain memiliki pekerja/buruh paling sedikit 200 orang; persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15%; serta bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa.

Sedangkan cakupan perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor adalah industri tekstil dan pakaian jadi; industri alas kaki; industri kulit dan barang kulit; industri furnitur; dan industri mainan anak.

Kemenaker mengizinkan perusahaan industri padat karya dengan kriteria tersebut melakukan penyesuaian waktu kerja, yakni waktu kerja dapat kurang dari 7 jam perhari dan 40 jam perminggu untuk waktu kerja 6 hari kerja dalam seminggu. Sedangkan untuk waktu kerja 5 hari dalam seminggu, maka waktu kerja dapat kurang dari 8 jam perhari dan 40 jam perminggu.

Adapun terkait penyesuaian upah, Kemnaker menetapkan upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit 75% dari Upah yang biasa diterima. Artinya perusahaan dapat memotong 25% upah pekerjanya. Penyesuaian upah tersebut berlaku selama 6 bulan sejak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 berlaku. Kemnaker mengklaim kebijakan tersebut harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengusaha dan pekerja/buruh.

155