Home Ekonomi Implementasi PLTS Atap Dikritik Sejumlah Kalangan, Kenapa?

Implementasi PLTS Atap Dikritik Sejumlah Kalangan, Kenapa?

Jakarta, Gatra.com — Sejumlah kalangan menilai implementasi suplai listrik dari PLTS Atap belum siap secara fundamental meskipun sudah banyak peminat. Hal tersebut diungkap sejumlah pengamat, pakar dan pelaku usaha saat menanggapi diskusi publik di Jakarta, pada Selasa (21/3/2023) bertajuk ‘Energi Surya Indonesia, Mau Dibawa Kemana?'.

Diskusi itu membahas soal pengembangan EBT sebagai sumber energi listrik dan ketersediaan infrastruktur kelistrikan yang memiliki peranan penting dan sangat krusial. Saat ini peningkatan bauran energi baru terbarukan khususnya melalui PLTS Atap ini masih menghadapi persoalan yang cukup fundamental.

Pada kesempatan berbeda Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan kesiapan Indonesia ya tergantung pelaku usahanya mau diatur tidak. “Kan orang-orang kita paling nggak mau diatur,” kata dia kepada wartawan melalui keterangannya, Selasa (21/3/2023).

Indonesia, tuturnya, belum siap terkait dengan implementasi PLTS Atap. “Pengembangan PLTS Atap ini kan juga belum jelas strateginya antara yang solar cell, di atas atap, atau secara luas. Kemudian juga belum berbicara mau off grid atau on grid," bebernya.

Menurutnya, Vietnam sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang gencar memakai PLTS atap akhirnya tumbang karena regulasinya sendiri “Gara-gara tidak berjalan lancar secara fundamental lalu disetop mulai 2021 hingga 2030. Siapa yang bayar untuk membangun baterai, transmisi dll?” tanyanya.

Diketahui, selama kurun waktu 1 tahun yaitu periode 2019 – 2020, terjadi penambahan kapasitas hampir 8 GW untuk PV Rooftop dan hampir 8 GW untuk solar farm. Namun, hal tersebut meninggalkan persoalan baru bagi sistem kelistrikan Vietnam, di mana akhirnya pelanggan, investor dan Vietnam Electricity/EVN selaku offtaker harus menanggung pil pahit itu.

Selain berbagai masalah itu, intermintensi atau ketidakandalan cuaca diakui menjadi salah satu kelemahan pembangkitan listrik dari tenaga surya karena pemasang/pengusaha PLTS tidak bisa mengatur iradiasi matahari.

Intermitensi sebenarnya menggambarkan terputus-putusnya produksi listrik pembangkit listrik surya maupun angin yang sangat bergantung pada faktor cuaca. Dengan demikian, kondisi ini mengganggu keandalan listrik sehingga kualitas layanan jadi tidak maksimal.

“Masih banyak kendala terkait dengan implementasinya,” kata Erlangga Bayu dari perwakilan Asosiasi Pembangkit Surya Atap kepada media.

Kendala tersebut, paparnya, juga terkait dengan sejumlah kebijakan, baik di daerah maupun tingkat nasional. Saat ini diketahui, masih dilakukan harmonisasi atas kebijakan tersebut karena dianggap belum matang bagi pemerintah dan pengusaha. “Sehingga implementasinya masih banyak hambatan,” ucapnya.

Saat ini, pemerintah tengah mengharmonisasi pengusahaan dan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dengan merevisi aturan tentang PLTS Atap. Dalam diskusi tersebut, diputar juga video yang berisi pesan Presiden Joko Widodo yang tidak menginginkan pembangkitan listrik melalui PLTS Atap justru membebani APBN.

Pembangunan tenaga pembangkit terbarukan memang tidak bisa dihindari tetapi harus berlangsung tanpa membawa dampak yang berat untuk masyarakat dan negara. Hingga saat ini, upaya penurunan karbon juga telah dilakukan pemerintah Indonesia, target emisi yang tadinya 29% sudah dinaikkan menjadi 31,89%.

65