Home Hukum Kekerasan Jalanan Sambut Ramadan di Yogya, Sultan Akui Belum Ada Solusi Selain dari Polisi dan Keluarga

Kekerasan Jalanan Sambut Ramadan di Yogya, Sultan Akui Belum Ada Solusi Selain dari Polisi dan Keluarga

Yogyakarta, Gatra.com -  Sebanyak 15 remaja pelaku tindak kekerasan jalanan alias klitih di Jl. Tentara Rakyat Mataram, Bumijo, Yogyakarta, Jumat (24/3) pagi, telah ditangkap polisi. Belum ada solusi mujaran mengatasi klitih di kota pelajar hingga kini.

Video aksi klitih ini sempat viral di media sosial. Dalam video itu, tampak korban yang telah jatuh tetap menerima sabetan dan tendangan dari para pelaku yang belakangan diketahui terdiri atas 6 orang usia dewasa dan 9 orang usia anak.

Dalam jumpa persnya, Minggu (26/3), Kapolda DIY Irjen Polisi Suwondo Nainggolan menjelaskan kejadian itu bermula saat rombongan korban hendak melakukan perang sarung di daerah Demak Ijo. Mereka bertemu dengan dua sepeda motor lain dan saling mengumpat hingga terjadi kejar-kejaran.

Di Jl. Wates, rombongan korban bertemu 5 sepeda motor yang kemudian ikut mengejar. Korban atas nama N lantas dilempar batu hingga jatuh. Dalam kondisi terjatuh, rombongan pelaku memukul, menyabet dengan sarung dan gesper, juga menendang dan menginjak korban.

Atas ulah sadis itu, para pelaku dapat dijerat pasal 170 ayat 2 KUHP dengan ancaman maksimal 9 tahun penjara. Selain itu juga dengan pasal 80 ayat (2) Juncto pasal 76 C Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara.

“Anak-anak ini perlu dibina sehingga bisa keluar dari kelompok-kelompok ini dan tidak terlibat kejahatan," kata Suwondo.

Adapun Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengakui belum menemukan solusi untuk klitih selain berharap pada keluarga dan polisi. “Upaya lain (selain dari aparat dan keluarga), saya belum menemukan," ucap Sultan, Senin (27/3).

"Lha wong nyatanya disel (setelah dipenjara) juga tetap terjadi. Sekarang, bagaimana keluarga itu bisa membangun konsolidasi sendiri. Kalau kebebasan itu dilepas, (anak) pergi tidak pernah pulang, ya susah.”

Sultan menyebut, orang tua harus punya kemauan untuk membatasi anak dan memperhatikan keberadaan mereka. “Orang tua mau bangun untuk lihat tempat tidur anaknya, apakah ditempati atau tidak. Asal orang tua mau begitu, mau membangun dialog yang baik, saya kira hal seperti itu manusiawi dan harus bisa dilakukan,” katanya.

Sultan pernah menyebut rencana pengadaan sekolah khusus bagi anak yang terlibat klitih. Namun usulan itu belum juga dieksekusi. “Kalau ada sekolah khusus, apakah orang tua atau si anak mau. Persoalan sekian puluh tahun yang lalu sama sekarang kan beda. Saat ini (anak) cenderung lebih karena merasa bebas saja,” katanya.

Kepala Divisi Humas Jogja Police watch (JPW) Baharuddin Kamba mencatat klitih kerap terjadi pada Ramadan. "Seperti awal April 2022 di Gedongkuning, Kotagede, Yogyakarta. Peristiwa ini mengakibatkan seorang pelajar berinisial DAA meninggal dunia," katanya.

Sebelumnya, pada April 2021 saat bulan puasa seorang pelajar berinisial K menjadi korban klitih di depan Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Jalan Ngeksigondo, Kotagede, Kota Yogyakarta. Akibatnya K mengalami luka serius di wajah.

"Butuh keseriusan dari pihak kepolisian untuk menindak tegas para pelaku klitih meski di bawah umur dengan rutin melakukan razia/ patroli di jam dan tempat terjadinya klitih," kata Kamba.

Menurut dia, saat ini ada pemahaman yang keliru bahwa anak di bawah umur tidak akan dihukum apabila melakukan tindakan hukum seperti klitih. "Peran orang tua dan sekolah sangat dominan untuk mencegah klitih," ujarnya.

Selain itu, perlu dievaluasi secara tuntas terkait aturan jam malam bagi anak dan remaja, termasuk di Kota Yogyakarta dan Sleman. "Apakah efektif dengan aturan tersebut sementara klitih masih merajalela," ujarnya.

 

154