Home Hukum Mantan Dirut dan Dirkeu PDAM Kota Makassar Tersangka Korupsi Rp20,3 Miliar

Mantan Dirut dan Dirkeu PDAM Kota Makassar Tersangka Korupsi Rp20,3 Miliar

Makassar, Gatra.com – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) PDAM Kota Makassar, HYL; dan mantan Direktur Keuangan (Dirkeu) PDAM Kota Makassar, IA; sebagai tersangka korupsi penggunaan dana PDAM Kota Makassar.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sulsel, Soetarmi, pada Selasa (11/4), menyampaikan, kedua mantan direksi PDAM Kota Makassar tersebut menjadi tersangka berdasarkan Surat Penetapan Kepala Kejati Sulsel.

Kejati Sulsel menetapkan HYL selaku Dirut PDAM Kota Makassar Tahun 2015–2019 sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: 91/P.4/Fd.1/04/2023 tanggal 11 April 2023.

Sedangkan tersangka IA selaku Direktur Keuangan PDAM Kota Makassar Tahun 2017–2019, menjadi tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: 92/P.4/Fd.1/04/2023 tanggal 11 April 2023.

“HYL dan IA ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik mendapatkan minimal dua alat bukti yang sah serta telah keluarnya penghitungan kerugian keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP,” kata Soetarmi.

Mereka menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan dana PDAM Kota Makassar untuk Pembayaran Tantiem dan Bonus/Jasa Produksi Tahun 2017–2019 dan Premi Asuransi Dwiguna Jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2016–2019.

Ia menjelaskan, tersangka HYL dan IA tidak mengindahkan aturan Permendagri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian PDAM, Perda No. 6 Tahun 1974 dan PP 54 Tahun 2017 karena beranggapan bahwa pada tahun berjalan kegiatan yang diusahakan memperoleh laba sedangkan akumulasi kerugian bukan menjadi tanggungjawabnya.

Mereka menganggap bahwa itu merupakan tanggungjawab direksi sebelumnya sehingga mereka mengklaim berhak untuk mendapatkan untuk pembayaran tantiem dan bonus/jasa produksi yang merupakan satu kesatuan dari penggunaan laba yang diusulkan.

Menurutnya, terdapat perbedaan besaran penggunaan laba pada Perda No. 6 Tahun 1974 dengan PP 54 Tahun 2017 khususnya untuk pembagian tantiem untuk direksi 5%, bonus pegawai 10%, sedangkan pada PP 54 Tahun 2017 pembagian tantiem dan bonus hanya 5%, sehingga aturan tersebut tidak digunakan untuk pembayaran penggunaan laba.

“Terdapat premi asuransi dwiguna jabatan bagi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar pada Asuransi AJB Bumiputera diberikan berdasarkan perjanjian kerja sama PDAM Kota Makassar dengan Asuransi AJB Bumiputera,” katanya.

Namun, lanjut Soetarmi, tersangka berpendapat lain tanpa memperhatikan aturan perundang-undangan bahwa wali kota dan wakil wali kota sebagai pemilik modal ataupun KPM tidak dapat diberikan ssuransi tersebut oleh karena yang wajib diikutsertakan adalah pegawai BUMD pada program jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan sosial lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pemberian asuransi jabatan bagi wali kota dan wakil wali kota tidak dibenarkan dengan dasar bahwa selaku pemilik perusahaan daerah/pemberi kerja yang berkewajiban untuk memberikan jaminan kesehatan bukan sebagai penerima jaminan kesehatan,” ujarnya.

Ia menyebutkan, dari penyimpangan yang terjadi pada penggunaan laba untuk pembagian tantiem dan bonus/jasa produksi serta premi asuransi dwiguna jabatan bagi wali kota dan wakil wali kota Makassar, itu mengakibatkan kerugian keuangan daerah Kota Makassar, khususnya PDAM kota Makassar sebesar Rp20.318.611.975,60. (Rp20,3 miliar).

Kerugian keuangan negara sejumlah berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atau Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atas Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan korupsi tersebut

Kejati Sulsel menyangka HYL dan AI melanggar sangkaan primair, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU RI Nomor: 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Sedangkan sangkaan subsidairnya, yakni melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU RI Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

96