Home Ekonomi Ekonom Sebut Utang PGEO Berisiko Default

Ekonom Sebut Utang PGEO Berisiko Default

Jakarta, Gatra.com - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) terancam gagal bayar (default) utang jangka pendek US$617 juta yang jatuh tempo Juni 2023 mendatang menyusul saldo kas dan perolehan laba tahun berjalan 2022 tak mencukupi untuk menambal utang tersebut.

Hal itu diungkapkan Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama dalam keterangannya yang diterima pada Sabtu (15/4).

"Kalau hanya mengandalkan kas dan laba saja bisa dipastikan akan gagal bayar (default)," katanya.

Baca juga: PGEO Dinilai Belum Mampu Realisasikan Peningkatan Kapasitas dalam 5 Tahun

Head of Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana juga sependapat dengan Nafan. Ia mengatakan, PGEO memang tak akan sanggup menutup utang tersebut jika mengandalkan kas dan setara kas.

Mau tak mau, emiten panas bumi Pertamina ini harus menyiapkan opsi lain. Misalnya dengan meminjam ke induk, atau melakukan negosiasi dengan kreditur.

"Dengan catatan banknya relatif cukup fleksibel untuk diperpanjang dibanding misalnya yang jatuh tempo adalah obligasi di mana kalau tidak bayar sesuai tanggal jatuh tempo hitunganya default," kata Wawan.

Baca juga: Insiden Kebakaran Pertamina Beri Sentimen Negatif Kepada Kinerja PGEO, Kok Bisa?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bima Yudhistira juga menilai bahwa permasalahan PGEO bukan hanya perkara kas dan setara kas yang minim saja. Isu lingkungan juga jadi salah satu faktor yang memberatkan PGEO.

"Bukan hanya soal utang tapi juga soal penolakan masyarakat di sekitar proyek geothermal yang masih berlanjut. PGEO harus memastikan proses yang diklaim sebagai energi terbarukan bebas dari konflik dengan masyarakat hingga memenuhi aspek dampak lingkungan yang baik," kata Bima.

Tercatat, laba tahun berjalan perseroan per 31 Desember 2022 mencapai US$127,3 juta atau naik 49,7% dari posisi 31 Desember 2021 sebesar US$85 juta. Perolehan laba tersebut terdorong oleh top line atau pendapatan yang naik 4,6% dari US$368,8 juta di 2021 menjadi US$386,1 juta di 2022, seiring penjualan karbon kredit sebagai pendapatan baru. Namun kontribusinya masih sangat minim, baru sekitar US$747.000 atau 0,19% dari total pendapatan.

Baca juga: Investor Ragukan Kinerja PGEO, Kaitkan Dengan Kilang Pertamina yang Terbakar

Sementara saldo kas setara kas perseroan per 31 Desember 2022 tercatat sebesar US$262,3 juta, naik 109,3% dari posisi 31 Desember 2021 sebesar US$125,3 juta. Meski saldo kas setara kas bertambah, namun jika ditambahkan dengan seluruh laba tahun berjalan pun masih belum bisa menutupi utang jangka pendek.

Jika dirinci, total utang bank jangka pendek tersebut terdiri atas pinjaman dari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebesar US$105 juta, MUFG Bank Ltd, Jakarta Branch sebesar US$105 juta dan PT Bank UOB Indonesia juga US$105 juta. Berikutnya dari PT Bank HSBC Indonesia sebesar US$82,5 juta, Australia and New Zealand Banking Group Limited Singapore Branch US$75 juta, PT Bank BTPN Tbk (BTPN) senilai US$52,5 juta, Sumitomo Mitsui Banking Corporation Singapore Branch senilai US$52,5 juta, dan The Hong Kong and Shanghai Bank Corporation Limited senilai US$22,5 juta.

Mengingat banyaknya kreditur yang teribat dalam utang jangka pendek ini, proses refinancing atau restrukturisasi pun dinilai akan sulit dicapai. Utang jangka pendek ini bermula saat perseroan mengambil fasilitas bridge loan dari sejumlah bank yang tergabung dalam mandate lead arranger (MLA) pada 23 Juni 2021. Fasilitas bridge loan tersebut memiliki plafon US$800 juta bertenor satu tahun dengan opsi perpanjangan maksimal satu tahun dengan dikenai biaya perpanjangan yang menjadi biaya tetap sebesar 0,15% dari jumlah partisipasi setia MLA. Perseroan melakukan perpanjangan di mana jatuh tempo pinjaman ini diperpanjang sampai dengan Juni 2023.

137